Kritik Teks al-Qurʾān (2): Ragam Qirāʾāt, Mushaf Sahabi, dan al-Qurʾān Edisi Kritis
Marijn van Putten
(baca bagian sebelumnya di link ini)
Tradisi Lisan yang ragam-bentuk (multiform)
Meskipun tipe teks Utsmani sangat
terkontrol dalam transmisi tertulisnya, hal ini tidak berarti bahwa tidak ada
variasi yang hadir dalam transmisi tersebut. Seperti yang telah disebutkan,
manuskrip Al-Quran awal ditulis dalam model tulisan yang sangat “cacat”, yang
tidak sepenuhnya mencerminkan teks dengan jelas. Sejumlah pembaca (qurrāʾ) al-Qurʾān terkemuka, terutama pada abad ke-8 M, mulai menyampaikan
tradisi bacaan mereka sendiri (qirāʾah,
jamak: qirāʾāt). Pada abad kesepuluh,
seorang ulama besar, Ibn Mujāhid (w. 936) mendeskripsikan tujuh tradisi qirāʾāt dari para pembaca ini, yang,
setelah masa hidupnya, dianggap sebagai kanonik.[1]
Ia memilih satu pembaca untuk setiap
wilayah penting dunia Islam ketika itu, kecuali Kufah, dimana ia memilih tiga
pembaca. Ibn Mujāhid mencatat bacaan-bacaan ini melalui sejumlah jalur
transmisi perawi (riwāyah, jamak: riwāyāt), yang juga merupakan para guru
terkemuka. Para perawi biasanya,
tetapi tidak selalu, adalah murid langsung dari imam suatu qirāʾāt yang pada namanya sistem bacaan itu disandarkan. Baru
setelah beberapa waktu kemudian, terutama melalui karya seorang ulama
Andalusia, al-Dānī (w. 1052–3), berbagai transmisi ini dikanonkan secara
skematis. Saat ini, dua perawi (rāwī) per imam qirāʾāt dianggap sebagai kanonik.[2]
Meskipun ketujuh tradisi qirāʾāt ini akhirnya diterima secara universal sebagai kanonik, para sarjana Muslim terus mengumpulkan dan mendeskripsikan tradisi bacaan dari para imam qirāʾāt lainnya. Beberapa abad kemudian, tiga qirāʾāt lagi diterima sebagai kanonik setelah dideskripsikan oleh Ibn al-Jazarī (w. 751/1350), yang juga mendeskripsikan ketiga bacaan tersebut dengan dua transmisi untuk masing-masing qirāʾāt.[3]
Selain kesepuluh tradisi qirāʾāt
ini, masih ada banyak tradisi qirāʾāt lainnya,
dan manuskrip al-qurʾān berharakat dari zaman para imam qirāʾāt memungkinkan kita untuk menganalisis tradisi bacaan yang
dikandung oleh manuskrip-manuskrip tersebut. Seringkali, mereka mencerminkan
bacaan yang berbeda dari yang ada dalam kanon tujuh atau pun sepuluh. Hingga
saat ini, sangat sedikit penelitian yang diarahkan untuk memetakan tradisi
bacaan yang muncul dalam manuskrip-manuskrip berharakat. Padahal,
manuskrip-manuskrip tersebut berpotensi menjadi sumber pengetahuan kita tentang
praktik pelafalan Al-qurʾān pada periode awal.[4]
Semua tradisi bacaan ini sama-sama mengikuti rasm Utsmani bahkan pada level huruf per
huruf, sehingga perbedaan mereka terutama merupakan hasil dari interpretasi
yang berbeda terhadap bentuk rasm
yang sama.[5]
Karena Kufah, Basra, Madinah, dan Damaskus memiliki rasm regional yang berbeda, seperti yang dibahas di bagian
sebelumnya, para pembaca ini juga mengikuti rasm
regional mereka masing-masing.
Tradisi qirāʾāt
secara tradisional digambarkan menurut dua kategori: prinsip umum (ʾuṣūl, tunggal: ʾaṣl, secara harfiah, “akar; asal”) dan varian spesifik (farš al-ḥurūf, secara harfiah,
“ketersebaran huruf”). Prinsip umum sebagian besar adalah perbedaan gramatikal
atau fonologis yang berlaku di seluruh Al-Quran. Misalnya, Ibn Kathīr dan Abū
Jaʿfar secara rutin menggunakan versi panjang dari kata ganti jamak ʾantumū, “kalian,” dan humū, “mereka,” sementara semua pembaca
lainnya menggunakan versi pendek dari kata ganti ini: ʾantum dan hum.[6]
Demikian pula, Ḥamzah, al-Kisāʾī, dan Khalaf secara rutin membedakan antara
vokal akhir kata ā dan ē, yang dalam sebagian besar tradisi bacaan lainnya
telah sepenuhnya digabungkan.[7]
Prinsip umum seperti ini sangat banyak, dan sulit untuk
menemukan bahkan satu ayat di mana tidak ada setidaknya satu prinsip umum yang
memengaruhi bagaimana ayat tersebut dibacakan antara para pembaca yang berbeda.
Tabel di bawah ini mengilustrasikan satu ayat (Q 26:39) sebagaimana dibacakan
dalam lima tradisi bacaan yang berbeda, di mana masing-masing mengucapkan ayat
tersebut dengan cara yang berbeda karena perbedaan dalam prinsip umum mereka.
Perbedaan pada level ini tidak memengaruhi arti ayat; mereka hanya berdampak
pada pengucapan spesifik dalam pembacaan.
Di antara varian spesifik, fungsi mereka dapat bervariasi
cukup jauh. Beberapa di antaranya dapat memengaruhi makna ayat, sementara dalam
kasus lain, kita tampaknya hanya berurusan dengan pembentukan kata yang berbeda
dengan makna yang pada dasarnya sama, atau mewakili variasi dialek satu sama
lain. Daftar di bawah ini memberikan gambaran tentang beberapa varian farš al-ḥurūf yang sering ditemui:
● Varian
dialek dari kata yang sama: al-quds,
al-qudus, “kesucian” (Q 2:87).[8]
● Pembentukan
kata benda yang berbeda dengan makna yang sama: khaṭaʾan, khiṭāʾan, khiṭʾan, “dosa” (Q 17:31).[9]
● Kata
benda yang berbeda dengan makna berbeda: mālik,
“pemilik,” malik, “raja” (Q 1:4).[10]
● Kata
benda tunggal atau jamak: wa-kitābihī,
“dan kitabnya,” wa-kutubihī, “dan
kitab-kitabnya” (Q 66:12).[11]
● Kata
kerja aktif atau pasif: nazzala, “Dia
telah menurunkan,” nuzzila, “telah
diturunkan” (Q 4:140).[12]
● Akar
kata kerja yang berbeda: qatalū,
“mereka membunuh,” qattalū, “mereka
membantai” (Q 6:140).[13]
Contoh di mana para pembaca kanonik menunjukkan perbedaan
dalam bacaan yang memiliki dampak besar pada pemahaman biasa tentang ayat cukup
jarang. Contoh tipikal yang sering disebutkan adalah Q 19:19, di mana para
pembaca tampaknya berbeda pendapat tentang apakah itu Tuhan atau utusan
malaikat-Nya yang akan memberikan Mary anaknya: qāla ʾinnamā ʾana rasūlu rabbiki li-ʾahaba/li-yahaba laki ġulāman zakiyyā, “dia berkata: ‘Aku hanyalah seorang
utusan dari Tuhanmu agar aku/yang memberi kamu seorang anak laki-laki yang
suci.’”[14]
Contoh lain yang terkenal adalah Q 5:6, di mana perbedaan
satu vokal kasus tampaknya menentukan dua praktik wudu yang berbeda—suatu
perbedaan yang kini menandai perbedaan dalam praktik wudu antara Muslim Sunni
dan Syiah. Dalam dua transmisi ʿĀṣim, kita menemukan kedua opsi: yā-ʾayyuhā llaḏīna ʾāmanū ʾiḏā qumtum ʾilā
ṣ-ṣalāti fa-ġsilū wujuhakum wa-ʾaydiyakum ʾilā l-marāfiqi wa-msaḥū bi-ruʾūsikum
wa-ʾarjulakum/ʾarjulikum ʾilā
l-kaʿbayn “Wahai orang-orang yang beriman! Ketika kamu bangkit untuk
shalat, cuci wajahmu, dan tanganmu hingga ke siku, lalu usap kepala kamu dan
cucilah/usaplah kaki kamu hingga ke pergelangan kaki.”[15]
Transmisi tradisi bacaan Al-Qur'an terus menjadi tradisi
hidup (living tradition) di kalangan
umat Muslim hingga saat ini. Hanya beberapa bacaan yang telah mencapai
popularitas luas, paling terkenal adalah bacaan Ḥafṣ dari ʿĀṣim, yang
merupakan tradisi bacaan yang paling banyak tersebar di dunia Muslim saat ini.
Namun, di Afrika Utara, tradisi Warsh dari Nāfiʿ mendominasi, sementara Qālūn,
juga dari transmisi Nāfiʿ, diikuti terutama di Tunisia dan Libya. Di Sudan,
al-Dūrī dari Abū ʿAmr, tetap digunakan secara luas. Bacaan lainnya,
bagaimanapun, terus dipelajari dan dibaca oleh para ahli dalam tradisi hidup
ini. Meskipun pengajaran tradisi bacaan ini saat ini bergantung pada karya
tulis, transmisi lisan masih dianggap sebagai bagian penting dari proses mempelajarinya
tersebut. Orang yang mendapatkan ijazah diharapkan telah mengikuti ujian
pembacaan secara langsung, dan bacaan-bacaan ini dilacak melalui rantai
transmisi sanad, biasanya hingga para penulis besar dari karya-karya kanonisasi
seperti Ibn al-Jazarī dan Ibn Mujāhid, lalu hingga kembali ke pembaca eponim
(Imam qirāʾāt) yang tradisi bacaannya
mereka sampaikan.
Para pembaca eponim kanonik, pada gilirannya, melacak sanad
bacaan mereka melalui para guru yang memberikan pengajaran kepada mereka,
hingga kembali ke Nabi Muhammad. Saat ini, bacaan-bacaan ini, pada prinsipnya,
merupakan reproduksi kata demi kata dari cara pembacaan para imam qirāʾāt
kanonik (meskipun, tentu saja, beberapa ketidaksepakatan telah muncul seiring
waktu antara para rawi dan sub-rawi). Namun, tidak tampak bahwa
reproduksi kata demi kata dari apa yang dikatakan oleh guru seseorang selalu
menjadi tujuan. Hal ini jelas terlihat dari Khalaf sebagai pembaca kanonik,
yang bacaanannya berbeda dari bacaan Ḥamzah, yang merupakan salah satu imam
kanonik yang ia riwayatkan bacaannya. Saat ini, ketidaksepakatan antara dua rawi dari satu imam qirāʾāt sering kali diberikan penjelasan religius bahwa guru
tersebut memang mengajarkan kedua opsi bacaan itu, tetapi sangat sedikit bukti
yang menunjukkan bahwa hal tersebut (imam qirāʾāt
mengajarkan dua versi qirāʾāt) memang biasa terjadi. Selain itu penjelasan ini
tidak bisa menjelaskan varian yang muncul dari satu imam di dua perawi.
Palimpsest[16]
Ṣanʿāʾ dan Muṣḥaf Sahabat
Sebagian besar dari ratusan manuskrip Quran yang kita akses
hari ini menunjukkan tipe teks Utsmani (Uthmanic
type text) yang sangat terstandarisasi dan seragam. Namun, terdapat juga
tipe teks lain, yakni teks yang ditemukan pada lapisan bawah Palimpsest Ṣanʿāʾ
(juga dikenal sebagai DAM 01-27.1 atau Ṣanʿāʾ 1), dan mushaf-mushaf milik
sahabat Nabi yang dilaporkan dalam sumber-sumber literatur. Karena
mushaf-mushaf sahabi relevan untuk mengevaluasi Palimpsest Ṣanʿāʾ, ada baiknya
kita membahasnya terlebih dahulu.
Dalam karya-karya awal tafsir, sering kali ditemukan
referensi terhadap “bacaan, qira’at” (qirāʾah,
atau ḥarf)[17] dari para
sahabat nabi atau “mushaf” mereka (muṣḥaf,
jamak maṣāḥif). Sahabat (ṣaḥābah)
adalah generasi Muslim yang mengenal nabi secara langsung. Ketika
laporan-laporan tersebut muncul, biasanya difokuskan pada kasus-kasus di mana
sahabat-sahabat ini berbeda dengan teks standar Utsmani. Mushaf-mushaf ini
tampaknya benar-benar ada. Kita memiliki laporan dalam sumber literatur di mana
penulis melaporkan bahwa mereka telah melihat suatu bacaan dalam mushaf seorang
sahabat. Walaupun ada laporan bahwa ʿUtsmān memerintahkan semua mushaf tersebut
untuk dihancurkan pada masa kanonisasinya, jelas bahwa setidaknya salinan
mushaf dari beberapa sahabat (terutama milik Ibn Masʿūd) bertahan dalam
beberapa bentuk hingga abad kedua Hijriyah. Misalnya, ahli tata bahasa dan
mufassir Kufah, al-Farrāʾ (w. 207/822), melaporkan bahwa ia pernah melihat
secara langsung mushaf Ibn Masʿūd. Laporan-laporan ini kadang-kadang bahkan
mengomentari kekhasan ortografis, yang mengisyaratkan bahwa dia memang memiliki
akses ke suatu mushaf non-Utsmani.[18]
Walaupun mushaf sahabat tersebut akhirnya tidak lagi
digunakan dalam bacaan dan shalat, mereka tetap dianggap sebagai sumber
otoritatif dalam tafsir dan bahkan dalam perdebatan hukum.[19] Misalnya,
mufassir dan sejarawan terkenal, al-Ṭabarī (w. 310/923), lebih memilih bacaan ʾilyāsīn (Q 37:130), sebuah versi nama
nabi ʾIlyās "Elia" (yang
muncul sebelumnya dalam surah yang sama, Q 37:123) daripada bacaan alternatif ʾāli yāsīn "keluarga Yāsīn"
karena konon Ibn Masʿūd memiliki nama alternatif non-Utsmani untuk seorang
nabi, yaitu ʾIdrīs di Q 37:123, yakni
ʾIdrāsīn di Q 37:130.[20]
Salah satu sumber terpenting untuk pengetahuan kita tentang
mushaf sahabat berasal dari Kitāb
al-Maṣāḥif, (kitab mushaf-mushaf), karya Ibn ʾAbī Dāwūd (w. 316/928), yang
merinci daftar kekhasan mushaf-mushaf itu dengan sangat rinci.[21]
Temuan-temuan ini telah dikumpulkan secara skematis oleh Arthur Jeffery.[22]
Perbedaan yang dilaporkan untuk mushaf-mushaf ini berkisar dari varian
linguistik kecil dalam pengucapan, perbedaan kata, hingga beberapa pemanjangan
narasi atau perubahan urutan ayat. Tabel di bawah ini mengilustrasikan beberapa
contoh yang diambil dari karya Jeffery.
Laporan mengenai varian-varian ini cukup melimpah, tetapi
tetap hanya mencakup sebagian kecil dari teks al-Qurʾān. Karena tidak ada
salinan manuskrip khusus dari mushaf sahabat ini yang sampai kepada kita, sulit
untuk menilai sejauh mana laporan yang kita miliki benar-benar mencerminkan
seluruh perbedaan antara teks sahabat dan teks standar Utsmani, atau apakah ini
hanya mencakup sebagian kecil dari perbedaan antara mushaf sahabat dan teks
Utsmani.
Untuk waktu yang lama, kita sepenuhnya bergantung pada
laporan dari sumber-sumber literatur ini untuk mendapatkan wawasan tentang
tipe-tipe teks yang berbeda di luar teks Utsmani. Namun, pada tahun 1970-an,
beberapa karung berisi manuskrip Quran ditemukan tersembunyi di langit-langit
di masjid agung Sana’a, Yaman. Selain ribuan lembar manuskrip yang termasuk
dalam teks standar Utsmani, salah satu manuskrip ini (sekarang dikatalogkan
sebagai DAM 01-27.1) ternyata sangat menarik. Teks tersebut berisi teks standar
Utsmani, tetapi merupakan palimpsest—suatu keunikan di antara manuskrip Quran[23]—di
mana teks bawahnya juga adalah Quran, tetapi berbeda dari teks atas, dengan
ratusan penyimpangan dari teks standar.
Seiring berjalannya waktu, banyak fragmen dari manuskrip ini
ditemukan. Sebagian besar ternyata ada di perpustakaan timur masjid Sana’a, dan
beberapa lembar muncul di pasar lelang. Berdasarkan penghitungan terbaru, kini
diketahui ada 80 lembar yang termasuk dalam manuskrip ini.[24] Penemuan
monumental dari teks ini kemudian menghasilkan banyak publikasi yang
membahasnya.[25]
Tidak hanya teks ini memiliki banyak penyimpangan dari teks standar, tetapi
susunan surahnya juga berbeda dari teks standar.
Seperti yang disimpulkan dengan cukup meyakinkan oleh Behnam Sadeghi,[26] teks bawah Palimpsest Sana’a ini memiliki banyak ciri yang sangat mirip dengan laporan tentang mushaf sahabat, yang juga disebut-sebut memiliki susunan surah yang berbeda, dan sebagaimana yang telah kita tunjukkan di atas, terdapat perbedaan kata di sana-sini. Beberapa varian yang ditemukan dalam teks bawah ini cocok dengan beberapa varian yang dilaporkan pada mushaf sahabat. Selain itu, terdapat banyak varian lain yang tidak memiliki paralel langsung dalam laporan literatur, tetapi secara tipologis sangat mirip dengan varian yang ditemukan dalam laporan mushaf sahabat. Ikhtisar di bawah ini mengilustrasikan beberapa kesamaan antara bentuk-bentuk yang ditemukan dalam Palimpsest Sana’a dan laporan tentang mushaf sahabat.[27]
Edisi Cetak dan Belum Adanya
al-Qurʾān Edisi Kritis[28]
Meskipun penelitian akademis yang intensif tentang Quran
telah berlangsung selama berabad-abad, hingga kini belum ada edisi kritis dari
teks ini. Sebaliknya, sebagian besar peneliti bergantung pada Edisi Kairo tahun
1924,[29]
sebuah versi cetak yang luas digunakan dalam bacaan ʿĀṣim dalam transmisi Ḥafṣ.
Edisi Kairo menggunakan typeset logam
Amiriyya, tetapi saat ini, sebagian besar cetakan Quran ditulis tangan oleh
seorang kaligrafer dan direproduksi sebagai cetakan resolusi tinggi. Meskipun
pendekatan analog ini diterapkan pada cetakan Quran, sebagian besar teks cetak
tersebut banyak mengambil elemen dari Edisi Kairo, mengadopsi inovasi tipografi
yang digunakan untuk mendetailkan bacaan Ḥafṣ. Selain itu, teks ini juga
cenderung mengikuti teks konsonantal yang diadopsi dalam Edisi Kairo.
Ortografi yang digunakan dalam cetakan ini sangat
konservatif, berusaha mereproduksi rasm Utsmani asli sepresisi mungkin. Namun,
ortografi ini bukan berdasarkan manuskrip al-Qurʾān kuno, melainkan berdasarkan
deskripsi dalam literatur rasm abad
pertengahan yang telah dibahas sebelumnya, yang menjelaskan kekhasan rasm
Utsmani dalam perspektif ortografi Arab Klasik standar. Sebagai contoh, Edisi
Kairo didasarkan pada karya rasm Abū
ʿAmr al-Dānī[30] dan
muridnya ʾAbū Dāwūd Sulaymān b. Najāḥ, [31]dengan
preferensi pada yang terakhir ketika keduanya berbeda. Akibatnya, ortografi
Edisi Kairo terkesan arkais dan, dalam banyak hal, terlihat lebih kuno
dibandingkan beberapa manuskrip al-Qurʾān yang ada, yang lebih sering mengikuti
ortografi Arab Klasik sepenuhnya. Dengan ortografi konservatif ini, edisi teks
modern sering kali menjadi representasi yang cukup akurat dari ortografi yang
kita temukan dalam naskah al-Qurʾān abad ketujuh.
Literatur rasm ini
mendokumentasikan secara rinci pelaporan mengenai ejaan teks Utsmani, sehingga
edisi cetak ini dapat dianggap sebagai hasil kritik teks abad pertengahan,
meskipun hasil akhirnya tidak memiliki aparatus kritis yang diharapkan. Meski
begitu, edisi cetak ini tidak selalu akurat mencerminkan apa yang biasanya
ditemukan dalam manuskrip kuno. Hal ini terutama terlihat pada penggunaan huruf
ʾalif, yang lebih sering digunakan
untuk menulis ā dalam edisi cetak modern daripada yang biasa ditemukan dalam
naskah kuno. Ada juga praktik ortografis inovatif lainnya dibandingkan dengan
naskah kuno. Misalnya, pronomina nominatif ḏū
secara konsisten dieja ذو
dalam edisi cetak modern, sementara dalam naskah kuno selalu diikuti dengan ʾalif, yaitu ذوا.
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak edisi kritis
dari manuskrip yang mulai diterbitkan. Tayyar Altıkulaç telah menerbitkan edisi
dari berbagai manuskrip kuno, terutama yang relatif lengkap.[32]
Edisi ini dilengkapi dengan catatan kaki yang menyediakan informasi tentang
bagaimana kata-kata tertentu dijelaskan dalam literatur rasm abad pertengahan, serta bagaimana kata-kata tersebut muncul
dalam manuskrip lain yang telah dia edit. Proyek Corpus Coranicum di Berlin
bertujuan untuk menciptakan edisi kritis dari teks ini, tetapi saat ini
berfokus pada penerbitan edisi teks dari beberapa manuskrip kuno. Yang pertama
dari manuskrip ini, Codex Amrensis 1, disiapkan oleh Éléonore Cellard, sudah
diterbitkan,[33]
begitu pula karya tentang kutipan Quran dalam dokumen papirus dan salinan
papirus dari surah kedua (al-Baqarah) dalam Quran. [34]
Beberapa lainnya sedang dipersiapkan dalam seri Documenta
Coranica. Edisi teks awal dari manuskrip ini juga diterbitkan di situs web
Corpus Coranicum, yang memiliki database luas dari ratusan fragmen, banyak
diantaranya dilengkapi dengan transkripsi. Transkripsi ini mereproduksi teks
secara detail, menggunakan tanda warna untuk menunjukkan penyimpangan
dibandingkan dengan Edisi Kairo. Ini agak mengaburkan kemiripan ekstrem antar
manuskrip. Sebagai contoh, kasus ḏū
yang disebutkan di atas ditandai dengan tambahan ʾalif di akhir yang tidak ada dalam Edisi Kairo, tetapi tidak ada
indikasi langsung bahwa ini adalah ejaan yang umum dan juga ada dalam dalam
manuskrip lain. Database situs web Corpus Coranicum memungkinkan perbandingan
cepat antara ejaan tersebut dalam berbagai manuskrip.
Topik Penelitian di Masa Depan
Kritik teks terhadap Quran adalah bidang penelitian yang
masih muda, dan masih banyak perkembangan penting yang akan datang di masa
depan. Dalam beberapa tahun mendatang, kita dapat menantikan beberapa publikasi
edisi manuskrip Quran dalam seri Documenta Coranica yang diterbitkan oleh
Brill.[35]
Salah satu arah penelitian penting di masa depan adalah
pemahaman yang lebih baik tentang sejarah manuskrip Quran yang isinya sedikit
berbeda dari edisi standar. Dalam beberapa tahun terakhir, telah menjadi jelas
bahwa ada beberapa manuskrip awal yang – secara umum – mengikuti teks standar
Utsmani tetapi menunjukkan penyimpangan dari urutan surah standar. Sebagai
contoh, pada DAM 01-29.1, Cellard menunjukkan adanya transisi surah yang tidak
biasa: Q 80 (Sūrat ʿAbasa), diikuti oleh Q 75 (Sūrat al-Qiyāmah), lalu diikuti
oleh Q 81 (Sūrat al-Takwīr).[36]
Bagian yang seharusnya memuat Q 75 tidak terpelihara, tetapi dapat diasumsikan
bahwa di situ juga ditemukan urutan surah yang tidak biasa.
Baru-baru ini, Karimi-Nia menerbitkan artikel tentang sebuah
kodex (mushaf) lengkap yang disimpan di Mashhad, Iran, yang saat ini mengikuti
urutan surah standar, tetapi jelas hasil dari penyusunan ulang yang ekstensif.[37] Dia
berpendapat bahwa urutan surah asli mungkin mirip dengan yang dilaporkan untuk
mushaf sahabat Ibn Masʿūd. Kedua dokumen ini berbagi beberapa fitur tidak biasa
lainnya, seperti ejaan glottal stop (hamzah)
yang tidak lazim, menggunakan huruf ʾalif.[38]
Beberapa manuskrip lain dari Sana'a juga menunjukkan ketidakteraturan serupa
dalam urutan surah. Saya berharap untuk membahas sejarah kelompok manuskrip ini
dalam publikasi mendatang.
Arah lain yang perlu dieksplorasi lebih lanjut adalah
perkembangan ortografis dan analisis stematik yang lebih mendalam terhadap teks
dari waktu ke waktu. Sidky[39]
telah mengonfirmasi adanya empat salinan leluhur dari mana semua manuskrip
Quran berasal, dan perbandingan yang lebih rinci dari teks konsonantal
manuskrip yang berbeda diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih rinci
mengenai subkelompok yang diturunkan dari salinan leluhur ini. Sidky telah
menemukan indikasi jelas bahwa ada subtipe yang berkembang dari kodeks (mushaf)
regional Basrah, yang disebutnya kelompok “Neo-Basran.”[40] Dalam
kelompok Neo-Basran ini juga terlihat contoh jelas dari reformasi ejaan yang
terjadi. Di masa depan, diharapkan kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih
jelas tentang reformasi ortografi mana yang bersifat transregional dan mana
yang lokal, serta kapan reformasi tersebut terjadi.
Saat ini, terdapat minat yang cukup besar pada tradisi
pembacaan Quran (qirāʾāt). Dalam
beberapa tahun ke depan, diharapkan kita akan memperoleh pemahaman yang lebih
baik tentang hubungan antara rasm dan
tradisi lisan, serta sumber yang mendasari bacaan kanonik dan alasan
penyimpangannya. Memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang perkembangan
bacaan kanonik memerlukan pemahaman yang lebih dalam tentang bacaan
pra-kanonik. Ada ratusan manuskrip yang mencerminkan bacaan kanonik dan
non-kanonik. Hingga saat ini, sumber penting ini hampir belum dieksplorasi.
Terakhir, studi lebih lanjut tentang kesalahan penulisan
diperlukan. Quran adalah teks yang sangat mirip secara internal, dengan tingkat
pengulangan ayat yang sangat tinggi atau pengulangan ayat yang sangat mirip.
Ini membawa tantangan unik di mana asimilasi paralel lebih mungkin terjadi
dibandingkan dengan kitab-kitab Alkitab. Memahami lebih baik jenis kesalahan
penulisan yang mungkin terjadi akan memungkinkan kita untuk lebih memahami
signifikansi penyimpangan dari teks standar yang kadang-kadang terjadi.[41]
notes
[1] Ibn Mujāhid, Kitāb al-Sabʿah. Untuk pembahasan mengenai proyek kanonisasi ini, lihat Nasser, The Transmission of the Variant Readings, dan Nasser, The Second Canonization of the Qurʾān.
[2] Nasser, “The Two-Rāwī Canon.”
[3] Ibn al-Jazarī, Nashr.
[4] Untuk beberapa pengamatan awal tentang manuskrip berharakat dan apa yang mungkin mereka ungkapkan kepada kita, lihat Dutton, “Red Dots, Part I,” “Red Dots, Part II,” Cellard, “La Transmission Manuscrite”; van Putten, “Arabe 334a”; van Putten dan Sidky, “Pronominal Variation”; Ince, “Arabe 330b.”
[5] Untuk pembahasan mengenai kejadian langka dimana pembaca kanonik menyimpang dari rasm Utsmani, lihat van Putten, “When the Readers Break the Rules.”
[6] Bahkan, dalam transmisi Nāfi' kata ganti panjang juga merupakan pilihan. Qālūn memperbolehkan kedua pilihan tersebut, sementara Warsh menetapkan sebuah kondisi yang rumit yang mengharuskan pengucapan panjang di satu konteks dan pendek di konteks lainnya. Ibn al-Jazarī, Nashr, 2: 868-872.
[7] Ibid., 3: 1611–1627.
[8] Ibid., 4: 2178
[9] Ibid., 4: 2427f.
[10] Ibid., 2: 866.
[11] Ibid., 4: 2692.
[12] Ibid., 4: 2274.
[13] Ibid., 4: 2307.
[14] Ibid., 4: 2456.
[15] Ibid., 4: 2277.
[16] Palimpsest adalah sebuah naskah atau dokumen yang ditulis di atas bahan yang sebelumnya sudah pernah digunakan untuk menulis sesuatu yang lain. Bayangkan seperti papan tulis yang pernah ditulisi, kemudian dihapus, dan ditulisi lagi. Pada zaman dahulu, bahan seperti perkamen (kulit hewan yang diolah) sangat berharga dan sulit didapat, sehingga orang sering menghapus tulisan lama untuk menulis yang baru di atasnya. Di kasus ini, ada sebuah manuskrip al-qurʾān yang ternyata merupakan palimpset; perkamennya pernah digunakan untuk menuliskan teks al-qurʾān, lalu dihapus dan digunakan kembali untuk menuliskan teks al-qurʾān. Nah, teks ‘bawah’, yang dihapus itu ternyata berbeda dari teks al-qurʾān yang ditulis dalam standar rasm Utsmani. (penerjemah).
[17] Istilah lama untuk “pembacaan/tilawah” ini merujuk pada sabda Nabi yang menyatakan bahwa Al-Qur'an diturunkan dalam sabʿat aḥruf atau “tujuh ḥarf.” Makna pasti dari istilah ini tidak jelas, tetapi dapat dipahami bahwa umat Islam awal menganggapnya sebagai izin untuk adanya variasi lisan dalam bacaan Al-Qur'an. Akibatnya, istilah ini juga berkembang menjadi bermakna “bacaan khusus dari seseorang.” Untuk pembahasan lebih lanjut tentang istilah ini dan sabda Nabi yang terkenal mengenai “tujuh ḥarf,” lihat Dutton, Orality.
[18] E.g., al-Farrāʾ, Maʿānī, 2: 135
[19] Harvey “The Legal Epistemology of Qurʾanic Variants.”
[20] Al-Ṭabarī, Tafsīr, 19: 621.
[21] Ibn Abī Dāwūd, Kitāb al-Maṣāḥif.
[22] Jeffery, Materials.
[23] Ada dua palimpsest lain yang diketahui. Yang pertama adalah Palimpsest Mingana-Lewis, di mana dua manuskrip kuno Quran digunakan kembali dan ditimpa dengan teks Kristen (mungkin Bahasa Arab Kristen atau bahasa Suryani). Manuskrip ini telah didigitalkan dan tersedia secara daring (Mingana-Lewis Collection). Untuk pembahasan terbaru mengenai palimpsest ini, lihat Fedeli, “The Digitization Project of the Qurānic Palimpsest.” Palimpsest yang kedua adalah Palimpsest Koptik, yaitu teks Quran yang bagian bawahnya mengandung Kitab Suci Koptik. Untuk informasi lebih lanjut, lihat Cellard dan Louis, From Coptic to Arabic.
[24] Cellard, “Ṣanʿāʾ Palimpsest,” 6.
[25] Daftar pustaka dalam karya Cellard, “Ṣanʿāʾ Palimpsest”, memberikan ikhtisar yang baik mengenai banyak publikasi terkait. Di sini, saya hanya akan menyebutkan beberapa karya penting: Puin, “Koranpalimpsest”; Sadeghi dan Bergmann, “The Codex of a Companion”; Sadeghi dan Goudarzi, “Ṣanʿāʾ 1”; dan Hilali, The Sanaa Palimpsest.
[26] Sadeghi and Bergmann, “The Codex of a Companion,” and Sadeghi and Goudarzi, “Ṣanʿāʾ 1.”
[27] Contoh-contoh ini diambil dari ulasan Sadeghi and Goudarzi, “Ṣanʿāʾ 1,” 115–122.
[28] Edisi kritis al-Qurʾān, atau ‘al-Qurʾān edisi kritis’, bukan berarti membuat versi al-Qurʾān yang di dalamnya disertai kritik pada al-Qurʾān. ‘Critical edition’, atau ‘edisi kritis’ dalam ilmu filologi al-Qurʾān adalah proses di mana para ahli mempelajari manuskrip-manuskrip awal Quran dan membandingkannya satu sama lain untuk menentukan teks asli. Dalam konteks Quran, ini berarti mereka mencoba merekonstruksi teks Utsmani. Para ulama di dunia Islam sudah terbiasa membuat edisi kritis untuk berbagai macam kitab para ulama melalui proses yang disebut tahqiq. Cek penjelasan Van Putten di video ini https://www.youtube.com/watch?v=mnX6suqbcls (penerjemah)
[29] Al-Qurʾān al-Karīm, Kairo, 1924. Untuk informasi lebih lanjut, lihat https://corpuscoranicum.de/en/print.
[30] al-Dānī, Al-Muqniʿ.
[31] Ibn Najāḥ, Mukhtaṣar.
[32] Altıkulaç, Türk ve İslâm, Topkapi Palace, Al Mashhad al-Husayni, Sanaʿa, and Altıkulaç et al., Muṣḥaf-i Sharīf.
[33] Cellard, Codex Amrensis 1.
[34] Kaplony and Marx, Qurʾān Quotations, and Tillier and Vanthieghem, Book of the Cow.
[35] Manuskrip-manuskrip yang saya ketahui sedang dalam proses penerbitan adalah edisi-edisi dari manuskrip Sana'a DAM 01-25.1, DAM 01-27.1 (yaitu Sanaa Palimpsest), dan DAM 01-29.1, yang terakhir sedang dipersiapkan untuk publikasi oleh Michael Marx dan saya sendiri.
[36] Cellard, “Un nouveau témoignage.”
[37] Karimi-Nia, “New Document.” Edisi lengkap dari manuskrip ini akan diterbitkan, Karimi-Nia, Codex Mashhad.
[38] Cf. van Putten “Hamzah,” 111–114, dan Karimi-Nia, “New Document,” 303–305.
[39] Sidky, “Regionality of the Quranic Codices.”
[40] Ibid., 175–177.
[41] Kita menantikan publikasi Hythem Sidky dari Manuskrip MS.474.2003, Museum of Islamic Art, Doha, Qatar, sebuah manuskrip dengan sejumlah besar kesalahan penyalinan, di mana Sidky bertujuan untuk menggali tantangan metodologis dalam menganalisis kesalahan penyalinan dalam teks Qur'an.
[1] Ibn Mujāhid, Kitāb al-Sabʿah. Untuk pembahasan mengenai proyek kanonisasi ini, lihat Nasser, The Transmission of the Variant Readings, dan Nasser, The Second Canonization of the Qurʾān.
[2] Nasser, “The Two-Rāwī Canon.”
[3] Ibn al-Jazarī, Nashr.
[4] Untuk beberapa pengamatan awal tentang manuskrip berharakat dan apa yang mungkin mereka ungkapkan kepada kita, lihat Dutton, “Red Dots, Part I,” “Red Dots, Part II,” Cellard, “La Transmission Manuscrite”; van Putten, “Arabe 334a”; van Putten dan Sidky, “Pronominal Variation”; Ince, “Arabe 330b.”
[5] Untuk pembahasan mengenai kejadian langka dimana pembaca kanonik menyimpang dari rasm Utsmani, lihat van Putten, “When the Readers Break the Rules.”
[6] Bahkan, dalam transmisi Nāfi' kata ganti panjang juga merupakan pilihan. Qālūn memperbolehkan kedua pilihan tersebut, sementara Warsh menetapkan sebuah kondisi yang rumit yang mengharuskan pengucapan panjang di satu konteks dan pendek di konteks lainnya. Ibn al-Jazarī, Nashr, 2: 868-872.
[7] Ibid., 3: 1611–1627.
[8] Ibid., 4: 2178
[9] Ibid., 4: 2427f.
[10] Ibid., 2: 866.
[11] Ibid., 4: 2692.
[12] Ibid., 4: 2274.
[13] Ibid., 4: 2307.
[14] Ibid., 4: 2456.
[15] Ibid., 4: 2277.
[16] Palimpsest adalah sebuah naskah atau dokumen yang ditulis di atas bahan yang sebelumnya sudah pernah digunakan untuk menulis sesuatu yang lain. Bayangkan seperti papan tulis yang pernah ditulisi, kemudian dihapus, dan ditulisi lagi. Pada zaman dahulu, bahan seperti perkamen (kulit hewan yang diolah) sangat berharga dan sulit didapat, sehingga orang sering menghapus tulisan lama untuk menulis yang baru di atasnya. Di kasus ini, ada sebuah manuskrip al-qurʾān yang ternyata merupakan palimpset; perkamennya pernah digunakan untuk menuliskan teks al-qurʾān, lalu dihapus dan digunakan kembali untuk menuliskan teks al-qurʾān. Nah, teks ‘bawah’, yang dihapus itu ternyata berbeda dari teks al-qurʾān yang ditulis dalam standar rasm Utsmani. (penerjemah).
[17] Istilah lama untuk “pembacaan/tilawah” ini merujuk pada sabda Nabi yang menyatakan bahwa Al-Qur'an diturunkan dalam sabʿat aḥruf atau “tujuh ḥarf.” Makna pasti dari istilah ini tidak jelas, tetapi dapat dipahami bahwa umat Islam awal menganggapnya sebagai izin untuk adanya variasi lisan dalam bacaan Al-Qur'an. Akibatnya, istilah ini juga berkembang menjadi bermakna “bacaan khusus dari seseorang.” Untuk pembahasan lebih lanjut tentang istilah ini dan sabda Nabi yang terkenal mengenai “tujuh ḥarf,” lihat Dutton, Orality.
[18] E.g., al-Farrāʾ, Maʿānī, 2: 135
[19] Harvey “The Legal Epistemology of Qurʾanic Variants.”
[20] Al-Ṭabarī, Tafsīr, 19: 621.
[21] Ibn Abī Dāwūd, Kitāb al-Maṣāḥif.
[22] Jeffery, Materials.
[23] Ada dua palimpsest lain yang diketahui. Yang pertama adalah Palimpsest Mingana-Lewis, di mana dua manuskrip kuno Quran digunakan kembali dan ditimpa dengan teks Kristen (mungkin Bahasa Arab Kristen atau bahasa Suryani). Manuskrip ini telah didigitalkan dan tersedia secara daring (Mingana-Lewis Collection). Untuk pembahasan terbaru mengenai palimpsest ini, lihat Fedeli, “The Digitization Project of the Qurānic Palimpsest.” Palimpsest yang kedua adalah Palimpsest Koptik, yaitu teks Quran yang bagian bawahnya mengandung Kitab Suci Koptik. Untuk informasi lebih lanjut, lihat Cellard dan Louis, From Coptic to Arabic.
[24] Cellard, “Ṣanʿāʾ Palimpsest,” 6.
[25] Daftar pustaka dalam karya Cellard, “Ṣanʿāʾ Palimpsest”, memberikan ikhtisar yang baik mengenai banyak publikasi terkait. Di sini, saya hanya akan menyebutkan beberapa karya penting: Puin, “Koranpalimpsest”; Sadeghi dan Bergmann, “The Codex of a Companion”; Sadeghi dan Goudarzi, “Ṣanʿāʾ 1”; dan Hilali, The Sanaa Palimpsest.
[26] Sadeghi and Bergmann, “The Codex of a Companion,” and Sadeghi and Goudarzi, “Ṣanʿāʾ 1.”
[27] Contoh-contoh ini diambil dari ulasan Sadeghi and Goudarzi, “Ṣanʿāʾ 1,” 115–122.
[28] Edisi kritis al-Qurʾān, atau ‘al-Qurʾān edisi kritis’, bukan berarti membuat versi al-Qurʾān yang di dalamnya disertai kritik pada al-Qurʾān. ‘Critical edition’, atau ‘edisi kritis’ dalam ilmu filologi al-Qurʾān adalah proses di mana para ahli mempelajari manuskrip-manuskrip awal Quran dan membandingkannya satu sama lain untuk menentukan teks asli. Dalam konteks Quran, ini berarti mereka mencoba merekonstruksi teks Utsmani. Para ulama di dunia Islam sudah terbiasa membuat edisi kritis untuk berbagai macam kitab para ulama melalui proses yang disebut tahqiq. Cek penjelasan Van Putten di video ini https://www.youtube.com/watch?v=mnX6suqbcls (penerjemah)
[29] Al-Qurʾān al-Karīm, Kairo, 1924. Untuk informasi lebih lanjut, lihat https://corpuscoranicum.de/en/print.
[30] al-Dānī, Al-Muqniʿ.
[31] Ibn Najāḥ, Mukhtaṣar.
[32] Altıkulaç, Türk ve İslâm, Topkapi Palace, Al Mashhad al-Husayni, Sanaʿa, and Altıkulaç et al., Muṣḥaf-i Sharīf.
[33] Cellard, Codex Amrensis 1.
[34] Kaplony and Marx, Qurʾān Quotations, and Tillier and Vanthieghem, Book of the Cow.
[35] Manuskrip-manuskrip yang saya ketahui sedang dalam proses penerbitan adalah edisi-edisi dari manuskrip Sana'a DAM 01-25.1, DAM 01-27.1 (yaitu Sanaa Palimpsest), dan DAM 01-29.1, yang terakhir sedang dipersiapkan untuk publikasi oleh Michael Marx dan saya sendiri.
[36] Cellard, “Un nouveau témoignage.”
[37] Karimi-Nia, “New Document.” Edisi lengkap dari manuskrip ini akan diterbitkan, Karimi-Nia, Codex Mashhad.
[38] Cf. van Putten “Hamzah,” 111–114, dan Karimi-Nia, “New Document,” 303–305.
[39] Sidky, “Regionality of the Quranic Codices.”
[40] Ibid., 175–177.
[41] Kita menantikan publikasi Hythem Sidky dari Manuskrip MS.474.2003, Museum of Islamic Art, Doha, Qatar, sebuah manuskrip dengan sejumlah besar kesalahan penyalinan, di mana Sidky bertujuan untuk menggali tantangan metodologis dalam menganalisis kesalahan penyalinan dalam teks Qur'an.
Bibliography
Altıkulaç,
Tayyar. Hz. Osman’a Nisbet Edilen
Mushaf-i Şerîf (Türk ve İslâm Eserleri Müzesi Nüshası). Istanbul: Islam
Araştırmaları Merkezi, 2007.
Altıkulaç,
Tayyar. Al-Mushaf Al-Sharif: Attributed
to ʿUthmān Bin Affan (The Copy at the Topkapi Palace Museum). Istanbul:
Organization of the Islamic Conference Research Centre for Islamic History,
2007.
Altıkulaç,
Tayyar. Al-Mushaf Al-Sharif: Attributed
to ʿUthmān Bin Affan (The Copy at Al-Mashhad Al-Husayni in Cairo).
Istanbul: Organization of the Islamic Conference Research Centre for Islamic
History, 2009.
Altıkulaç,
Tayyar. Al-Muṣḥaf al-Sharīf: Attributed
to ʿAlī b. Abī Ṭālib, the Copy of Sana’a. Istanbul: Research Centre for
Islamic History, Art and Culture, 2011.
Altıkulaç,
Tayyar, Ḥamīd Riżā Mustafīd, and Morteza Tavakoli. Muṣḥaf-i Sharīf. Mansūb Ba-Imām ʿAlī b. Abī Ṭālib. Tehran: Markaz
Ṭabʿ wa-Našr Qurʾān Karīm, 2017.
Cellard,
Éléonore. Codex Amrensis 1. Leiden
& Boston: Brill, 2018.
Cellard,
Éléonore. “La Transmission Manuscrite Du Coran. Étude d’un Corpus de Manuscrits
Datables Du 2e H. / 8e Siècle J.-C.” PhD diss., INALCO,
2015.
Cellard,
Éléonore. “Un nouveau témoignage sur la fixation du canon coranique dans les
débuts de l’Islam : Le Manuscrit Ṣan’ā’ DAM
01–29.” Comptes Rendus de l’Académie Des
Inscriptions & Belles-Lettres 2 (2018): 1107–1119.
Cellard,
Éléonore. “The Ṣanʿāʾ Palimpsest: Materializing the Codices.” JNES
80.1 (2021): 1–30.
Cellard,
Éléonore, and Catherine Louis. “From Coptic to Arabic: A New Palimpsest and the
Early Transmission History of the Qurʾān.” Journal
of the International Qurʾanic Studies Association 5 (2020): 41–96.
Cook,
Michael. “The Stemma of the Regional Codices of the Koran.” Pages 89–104 in Graeco-Arabica Vols. 9–10. Festschrift in
Honour of V. Christides. Edited by G. K. Livadas. Athens: Institute for
Graeco-Oriental and African Studies, 2004.
al-Dānī,
Abū ʿAmr. Al-Muqniʿ fī Rasm Maṣāḥif
al-Amṣār maʿa Kitāb al-Naqṭ. Edited by Muḥammad Al-Sāḍiq Qamḥāwī. Cairo:
Maktabat al-Kulliyāt al-Azhar, 1978.
Déroche,
François. Qur’ans of the Umayyads: A
First Overview. Leiden; Boston: Brill, 2014.
Dutton,
Yasin. “An Early Muṣḥaf According to the Reading of Ibn ʿĀmir.” JQS
3.1 (2001): 71–89.
Dutton,
Yasin. “Orality, Literacy and the ‘Seven Aḥruf’ Ḥadīth.” JIS 23.1 (2011): 1–49.
Dutton,
Yasin. “Red Dots, Green Dots, Yellow Dots and Blue: Some Reflections on the
Vocalisation of Early Qur’anic Manuscripts – Part I.” JQS 1.1 (1999): 115–140.
Dutton,
Yasin. “Red Dots, Green Dots, Yellow Dots and Blue: Some Reflections on the
Vocalisation of Early Qur’anic Manuscripts (Part II).” JQS 2.1 (2000): 1–24.
Dutton,
Yasin. “Some Notes on the British Library’s ‘Oldest Qur’an Manuscript’ (Or.
2165).” JQS
6.1 (2004): 43–71.
al-Farrāʾ,
Abū Zakariyyā Yaḥyā. Maʿānī Al-Qurʾān.
Edited by Muḥammad ʿAlī al-Najjār and Aḥmad Yūsuf al-Najātī. Beirut: ʿĀlam
al-Kutub, 1983.
Fedeli,
Alba. “The Digitization Project of the Qurānic Palimpsest, MS Cambridge University Library Or.
1287, and the Verification of the Mingana-Lewis Edition: Where Is Salām?” Journal of Islamic Manuscripts 2.1
(2011): 100–117.
Fedeli,
Alba. “Early Qur’ānic Manuscripts, Their Text, and the Alphonse Mingana Papers
Held in the Department of Special Collections of the University of Birmingham.”
PhD diss., University of Birmingham, 2015. https://etheses.bham.ac.uk/id/eprint/5864/.
Harvey,
Ramon. “The Legal Epistemology of Qur’anic Variants: The Readings of Ibn Masʿūd
in Kufan Fiqh and the Ḥanafī Madhhab.” JQS 19.1 (2017): 72–101.
Hilali,
Asma. The Sanaa Palimpsest: The
Transmission of the Qur’an in the First Centuries AH. Qur’anic Studies Series. Oxford: Oxford University
Press, 2017.
Ibn
Abī Dāwūd, Abū Bakr. Kitāb al-Maṣāḥif.
Edited by Muḥibb al-Dīn Wāʿiẓ. Beirut: Dār al-Bashāʾir al-Islāmiyyah, 2002.
Ibn
al-Jazarī, Abū al-Khayr. Nashr al-Qirāʾāt
al-ʿAshr. Edited by Ayman Rushdī Suwayd. 5 vols. Beirut & Istanbul: Dār
al-Ghawthānī, 2018.
Ibn
Mujāhid, Abū Bakr. Kitāb al-Sabʿah fī
al-Qirāʾāt. Edited by Shawqī Ḍayf. Cairo: Dār al-Maʿārif, 1972.
Ibn
Najāḥ, Abū Dāwūd Sulaymān. Mukhtaṣar
al-Tabyīn li-Hijāʾ al-Tanzīl. Edited by Aḥmad b. Aḥmad b. Muʿammar
Sharshāl. Medina: King Fahd Complex for the Printing of the Holy Quran, 2002.
Ince,
Barış. “Arabe 330b: The Discovery of Two Canonical Readings.” Journal of Islamic Manuscripts 14
(2023): 115–154.
Jeffery,
Arthur. Materials for the History of the
Text of the Qurʾān. The Old Codices. Leiden: Brill, 1937.
Kaplony,
Andreas, and Michael Josef Marx, eds. Qurʾān
Quotations Preserved on Papyrus Documents, 7th–10th Centuries: And The Problem
of Carbon Dating Early Qurʾāns. Qurʾān Quotations Preserved on Papyrus
Documents, 7th–10th Centuries. Leiden: Brill, 2019.
Karimi-Nia,
Morteza. Codex Mashhad: Qurʾān
Manuscripts Nos. 18 & 4116 in the Āstān-i Quds Library. Qom: The
Alulbayt Islamic Heritage Institute, 2022.
Karimi-Nia,
Morteza. “A New Document in the Early History of the Qurʾān. Codex Mashhad, an
ʿUthmānic Text of the Qurʾān in Ibn Masʿūd’s Arrangements of Sūras.” Journal of Islamic Manuscripts 10
(2019): 292–326.
Marx,
Michael Josef, and Tobias J. Jocham. “Radiocarbon (14C) Dating of Qurʾān
Manuscripts.” Pages 188–221 in Qurʾān
Quotations Preserved on Papyrus Documents, 7th–10th Centuries, edited by
Michael Josef Marx and Andreas Kaplony. Leiden: Brill, 2019.
Nasser,
Shady Hekmat. The Second Canonization of
the Qurʾān (324/936): Ibn Mujāhid and the Founding of the Seven Readings.
Leiden: Brill, 2020.
Nasser,
Shady Hekmat. The Transmission of the
Variant Readings of the Qurʾān: The Problem of Tawātur and the Emergence of
Shawādhdh. Leiden: Brill, 2013.
Nasser,
Shady Hekmat. “The Two-Rāwī Canon
before and after Ad-Dānī (d. 444/1052–3): The Role of Abū ṭ-Ṭayyib Ibn Ghalbūn
(d. 389/998) and the Qayrawān/Andalus School in Creating the Two-Rāwī Canon.” Oriens 41 (2013): 41–75.
Nöldeke,
Theodor, Friedrich Schwally, Gotthelf Bergsträßer, and Otto Pretzl. The History of the Qurʾān. Leiden &
Boston: Brill, 2013.
Prémare,
Alfred-Louis de. “ʿAbd Al-Malik b. Marwān et le processus de constitution du
Coran.” Pages 179–211 in Die dunklen
Anfänge, neue Forschungen zur Enstehung und frühen Geschichte des Islam.
Edited by Karl-Heinz Ohlig. Berlin: Schiler, 2005.
Puin,
Elisabeth. “Ein früher Koranpalimpsest aus Sanʿaʾ (DAM 01–27.1).” Pages 461–493 in Schlaglichter: Die Beiden Ersten Islamischen Jahrhunderte. Edited
by Markus Groß and Karl-Heinz Ohlig. Berlin: Schiler, 2008.
Putten,
Marijn van. “Arabe 334a. A Vocalized Kufic Quran in a Non-Canonical Hijazi
Reading.” Journal of Islamic Manuscripts
10.3 (2019): 327–375.
Putten,
Marijn van. “‘The Grace of God’ as Evidence for a Written Uthmanic Archetype:
The Importance of Shared Orthographic Idiosyncrasies.” BSOAS 82 2 (2019):
271–288.
Putten,
Marijn van. “Hamzah in the Quranic Consonantal Text.” Orientalia 87.1 (2018): 93–120.
Putten,
Marijn van. “Hišām’s ʾIbrāhām: Evidence for a Canonical Quranic Reading Based
on the Rasm.” JRAS 30.2 (2020): 231–250.
Putten,
Marijn van. “When the Readers Break the Rules: Disagreement with the
Consonantal Text in the Canonical Quranic Reading Traditions.” Dead Sea Discoveries 29.3 (2022):
438–462.
Putten,
Marijn van, and Hythem Sidky. “Pronominal Variation in Arabic among the
Grammarians, Quranic Reading Traditions and Manuscripts.” In Language and History. Forthcoming.
Al-Qurʾān al-karīm,
Cairo, 1924.
Sadeghi,
Behnam, and Uwe Bergmann. “The Codex of a Companion of the Prophet and the
Qurʾān of the Prophet.” Arabica 57
(2010): 343–436.
Sadeghi,
Behnam, and Mohsen Goudarzi. “Ṣanʿāʾ 1 and the Origins of the Qurʾān.” Der Islam 87.1–2 (2011): 1–129.
Shoemaker,
Stephen J. Creating the Qur’an: A
Historical-Critical Study. Berkely, CA: University of California Press,
2022.
Sidky,
Hythem. “On the Regionality of the Quranic Codices.” Journal of the International Qurʾanic Studies Association 5 (2020
[2021]): 133–210.
Sinai,
Nicolai. “When Did the Consonantal Skeleton of the Quran Reach Closure? Part I.” BSOAS 77.2 (2014): 273–292.
Sinai,
Nicolai. “When Did the Consonantal Skeleton of the Quran Reach Closure? Part II.” BSOAS 77.3 (2014): 509–521.
al-Ṭabarī,
Abū Jaʿfar. Tafsīr Al-Ṭabarī. Jamīʿ
al-Bayān ʿan Taʾwīl Āy al-Qurʾān. Edited by ʿAbd Aḷḷāh al-Turkī. Cairo: Dār
Hajar, 2001.
Tillier,
Mathieu, and Naïm Vanthieghem. The Book
of the Cow. An Early Qurʾānic Codex on Papyrus (P. Hamb. Arab. 68). Leiden
& Boston: Brill, 2024.
Tov,
Emanuel. Textual Criticism of the Hebrew
Bible. Minneapolis: Fortress; Assen – Maastricht: Van Gorcum, 1992.
Wansbrough,
John. Quranic Studies: Sources and
Methods of Scriptural Interpretation. Amherst, NY: Prometheus Books, 1977.
Komentar
Posting Komentar