Kritik Teks al-Qurʾān: Stabilitas Rasm Utsmani dan Eksistensi Maṣāḥif al-Amṣār



Marijn van Putten[1]

Al-Quran (القرآن al-qurʾān) adalah kitab suci utama dalam Islam, diyakini oleh para penganutnya sebagai firman Tuhan yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada nabi Muhammad selama periode sekitar dua puluh tiga tahun dan disampaikan secara lisan selama masa kenabiannya. Teks tertulis yang kita miliki saat ini dianggap sebagai catatan kata per kata dari wahyu Nabi yang kemudian dituliskan beberapa waktu setelah kematiannya pada tahun 632 M. Meskipun sudah berabad-abad dilakukan penelitian ilmiah mendalam terhadap Al-Quran, kritik tekstual modern masih berada pada tahap awal. Ini sebagian disebabkan oleh stabilitas teks Al-Quran sejak kanonisasinya, dan kajian terhadap manuskrip kuno yang memang baru berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir. Dengan adanya digitalisasi besar-besaran terhadap manuskrip al-qurʾān dan aksesibilitas yang mudah terhadap data digital tersebut, beberapa tahun terakhir ini telah terjadi lonjakan publikasi baru yang meneliti sejarah tekstual al-qurʾān baik dalam bentuk tertulis maupun lisan.

Rasm Utsmani

Sumber-sumber Islam menjelaskan bahwa selama masa hidup Nabi Muhammad (sekitar 570–632 M), tidak ada versi standar tertulis dari apa yang dianggap sebagai wahyu ilahinya. Baru sekitar dua dekade setelah wafatnya, teks standar diperintahkan untuk dibuat oleh khalifah ketiga, Utsman bin Affan (berkuasa 644–656 M). Dia diyakini telah memerintahkan Zayd bin Thabit (w. 660 M) untuk memimpin komisi yang membuat beberapa salinan utama dan mendistribusikannya ke seluruh wilayah kekuasan imperium Islam yang baru berdiri.[2] Meskipun terdapat laporan yang berbeda mengenai jumlah salinan utama tersebut, jumlah terendah, yaitu empat, kemungkinan besar yang paling benar, seperti yang akan kita bahas di bawah ini. Tiga dari empat salinan tersebut dikirim ke Suriah (mungkin ke Damaskus atau pun ke Homs)[3], Basra (Irak), dan Kufah (Irak), sedangkan satu salinan tetap di Madinah (Arab Saudi), yang saat itu merupakan pusat kekuasaan khalifah.

Mulai saat itu, orang-orang di seluruh kekhilafahan yang telah menghafal dan melafalkan Al-Quran, serta yang mungkin memiliki salinan pribadi, diharapkan untuk mengikuti teks standar baru ini. Teks ini tidak memiliki penanda untuk menunjukkan harakat dan sering kali tidak memiliki titik-titik konsonantal yang diperlukan untuk membedakan dua puluh delapan huruf dalam alfabet Arab. Banyak huruf yang tidak dibedakan dengan jelas tanpa titik-titik ini, misalnya, bāʾ, tāʾ, dan thāʾ semuanya ditulis dengan bentuk huruf yang sama ٮ, dan hanya dapat dibedakan melalui sistem titik: ب untuk bāʾ, ت untuk tāʾ, dan ث untuk thāʾ. Kerangka konsonantal tanpa titik ini biasanya dikenal sebagai rasm, atau "garis dasar." Manuskrip-manuskrip awal kita memang tidak memiliki cara untuk menunjukkan tanda-tanda harakat secara lengkap dan hanya memiliki titik-titik konsonantal yang sangat sedikit – kurang lebih sesuai dengan apa yang dilaporkan dalam tradisi kesarjanaan Islam.



Tiga lapisan teks quranik: 1. rasm; 2. titik konsonan; 3. vokalisasi

Bukti Manuskrip untuk Kanonisasi Awal

Pada tahun 1970-an, sebuah aliran revisionis dalam kajian Islam yang dipimpin oleh John Wansbrough, Michael Cook, dan Patricia Crone mulai meragukan catatan kanonisasi awal Al-qurʾān ini. Berdasarkan argumen-argumen kritik susastra (literary criticism), Wansbrough terkenal dengan pandangannya bahwa Al-Quran baru mencapai bentuk finalnya pada abad ke-9 M.[4] 

Pendekatan revisionis yang ekstrem ini tidak didasarkan pada bukti manuskrip, terutama karena studi kritis-tekstual manuskrip saat itu masih kurang berkembang. Manuskrip-manuskrip Al-Quran tertua umumnya belum dilacak masa kemunculannya, namun dengan kemajuan teknologi penanggalan radiokarbon, kini menjadi mungkin untuk menantang teori kanonisasi akhir ala Wansbrough tersebut berdasarkan bukti material. Saat ini kita memiliki sejumlah manuskrip yang dengan meyakinakn memang berasal dari  abad ke-7 M berdasarkan teknik penanggalan radiokarbon.[5]

Tentu saja, fragmen-fragmen tidak manuskrip Al-qurʾān kuno yang tidak lengkap bukanlah bukti yang pasti untuk kanonisasi awal teks tersebut. Namun, seiring dengan meningkatnya minat terhadap fragmen-fragmen ini, dengan cepat diperhatikan bahwa teks yang ditemukan dalam fragmen-fragmen ini identik kata demi kata dengan teks yang kita miliki saat ini. Hal ini menunjukkan dukungan bagi teori kanonisasi awal, tetapi kesimpulan ini akan semakin jelas kekuatannya ketika dikaitkan dengan penelitian terhadap ortografi manuskrip-manuskrip tersebut.

Dalam ortografi tulisan Arab yang digunakan dalam Al-qurʾān, ada beberapa kata yang bisa ditulis dengan cara yang berbeda, misalnya niʿmat aḷḷāh, "karunia Tuhan" dapat ditulis dengan taʾ atau haʾ akhir pada kata pertama (masing-masing نعمت اللّٰه dan نعمه اللّٰه). Dengan memeriksa manuskrip-manuskrip awal, terlihat bahwa ejaan idiosinkratik ini konsisten di seluruh manuskrip awal; misalnya, frase نعمت اللّٰه dalam QS 5:11 dieja secara konsisten di semua manuskrip awal, sedangkan QS 5:20 dieja نعمه اللّٰه dengan konsisten di seluruh manuskrip. Konsistensi ini tidak hanya terjadi di lokasi ini, tetapi juga pada dua puluh tiga kasus lain dari frase ini. Banyak frase lain yang dapat diperiksa menunjukkan pola yang sama.[6]

Tingkat reproduksi yang presisi dari ortografi arketipal ini sedemikian rupa sehingga membandingkan dua halaman dari dua manuskrip Al-Quran awal biasanya hanya menunjukkan satu atau dua perbedaan. Dalam mayoritas besar kasus perbedaan antar-manuskrip, ini hanya terkait dengan penulisan vokal panjang ā di dalam kata, yang mungkin ditulis dengan alif sebagai penanda bacaan, atau tanpa alif tersebut.

Satu-satunya penjelasan logis untuk reproduksi yang presisi dari keunikan ortografi ini adalah jika manuskrip-manuskrip tersebut disalin dari contoh tertulis dengan ketelitian maksimal sejak awal tradisi. Oleh karena itu, semua manuskrip yang mengikuti tipe teks Utsmani (yang mencakup semua manuskrip kecuali satu yang diketahui sejauh ini) tentulah berasal dari satu arketipe tertulis. Kini sejumlah manuskrip telah diketahui penggalannya melalui analisis radiokarbon ke paruh kedua abad ke-7 M, dan dengan demikian kanonisasi tradisional oleh dekret dari khalifah ketiga Utsman sekitar tahun 650-an M konsisten dengan bukti material.[7]

Masih ada peneliti yang meyakini bahwa kanonisasi terjadi lebih belakangan, terutama pada masa kekhalifahan Umayyah ʿAbd al-Malik (685–705 M),[8] tetapi mereka tidak mempertimbangkan bahwa penanggalan radiokarbon membuat teori kanonisasi yang lebih akhir menjadi kurang memuaskan.[9] Tentu saja, pendapat bahwa kanonisasi ini lebih akhir lagi, setelah masa Abd al-Malik,  tidak akan dapat dipertahankan berdasarkan bukti material.

Ketiadaan “Masorah”

Meskipun tradisi penyalinan teks Al-Quran pada abad-abad awal Islam sangatlah presisi, tidak ada bukti adanya alat spesifik untuk memastikan ketepatan tinggi dalam penyalinan, seperti “Masorah” yang ditemukan dalam teks Alkitab Ibrani. Sudah dimaklumi bahwa manuskrip-manuskrip Al-Quran tidak memiliki catatan pinggir apa pun, sehingga juga tidak ada catatan yang memberikan indikasi mengenai praktik penyalinan. Manuskrip-manuskrip paling awal yang ditulis dengan aksara yang disebut Ḥijāzī, bahkan tidak memiliki margin sama sekali, dan secara konsisten menggunakan seluruh lebar dan tinggi perkamen untuk menulis Al-Quran.[11] Pada aksara Kufik yang lebih belakangan, margin lebih luas, namun margin ini hampir secara eksklusif digunakan untuk ornamen kepala sūrah dan, sesekali, untuk menandai pembagian dalam teks. Selain itu, margin dibiarkan kosong, menghasilkan tata letak yang mencolok dan menarik secara visual, tetapi juga pemborosan perkamen yang mencolok.

Pada abad-abad selanjutnya, para sarjana mulai menghasilkan karya-karya pendamping bagi Al-Quran yang merinci keunikan ortografis dari teks Utsmani. Karya-karya tersebut dikenal sebagai literatur rasm, dan beberapa karya awal yang penting antara lain Kitāb al-Maṣāḥif karya Ibn Abī Dāwūd (w. 929)[12] dan al-Muqniʿ fī Rasm al-Maṣāḥif karya al-Dānī (w. 1052–1053).[13] Karya-karya ini mencatat berbagai rincian detail dari tipe teks rasm Utsmani, tetapi ditulis setelah rasm Utsmani mengalami beberapa evolusi. Akibatnya, kita menemukan fitur-fitur umum dalam manuskrip-manuskrip awal yang secara konsisten muncul di berbagai salinan namun tidak dijelaskan secara akurat dalam karya-karya ini. Jika memang ada karya semacam itu di sekitar masa kanonisasi, pengetahuannya telah hilang dan tidak sampai kepada kita.

Stema Tipe Teks Utsmani

Tradisi Islam mengisahkan bahwa ketika Al-Quran pertama kali dikanonkan, setidaknya empat salinan induk dibuat dan disebarkan ke berbagai wilayah kekhalifahan Islam. Literatur rasm abad pertengahan mencatat perbedaan antara mushaf (kodeks) regional ini, terutama sampel-sampel yang ditemui pada mushaf dari Suriah, Madinah, Basra, dan Kufah. Kadang-kadang, literatur ini juga melaporkan perbedaan pada contoh dari Mekkah. Perbedaan-perbedaan ini cenderung sangat kecil pada kerangka konsonantal yang tampaknya lebih banyak dihasilkan oleh kesalahan tulis minor.

Pada tahun 1860, Nöldeke[14] membandingkan varian regional ini sebagaimana dilaporkan dalam literatur rasm dan melihat pola yang muncul – varian regional tersebut membentuk sebuah stema.[15] Pada tahun 2004, pengamatan ini ditinjau ulang dan dianalisis lebih rinci oleh Michael Cook,[16] yang mencatat adanya 16 varian tekstual unik di mana contoh Suriah berbeda dari contoh di Madinah, Basra, dan Kufah (misalnya, Suriah memiliki انجيكم [QS 7:171] sedangkan Madinah, Basra, dan Kufah memiliki انجينكم). Ia menemukan 13 varian di mana Suriah dan Madinah memiliki bentuk yang sama, berbeda dari Basra dan Kufah (misalnya, QS 2:132, واوصى dalam contoh Suriah dan Madinah berbeda dengan ووصى dalam contoh Kufah dan Basra). Terakhir, Kufah memiliki 6 varian yang berbeda dari contoh di wilayah lainnya (misalnya, QS 6:63, انجينا dalam contoh Kufah berbeda dengan انجيتنا dalam contoh Madinah, Suriah, dan Basra). Distribusi ini jelas membentuk stemma tidak tercemar, yang jelas tanpa percabangan menyimpang, hal ini menunjukkan bahwa keempat mushaf dan varian regionalnya tentulah mencerminkan transmisi dari satu mushaf arketipe.



Empat kemungkinan stemmata berdasarkan varian regional dari satu arketipe Quran: S = Suriah, M = Madinah, B = Basra, K = Kufah

Seperti yang dikemukakan oleh Cook, fakta bahwa laporan-laporan ini membentuk stemma yang tidak tercemar adalah indikasi kuat bahwa kita sedang berhadapan dengan transmisi otentik dari sebuah arketipe. Namun, karena stemma ini sepenuhnya direkonstruksi dari bukti literatur dalam kitab-kitab rasm, mereka tidak selalu mencerminkan apa yang ditemukan dalam manuskrip Al-Quran. Seiring dengan semakin banyaknya manuskrip awal yang tersedia bagi para peneliti, menjadi jelas bahwa manuskrip Al-Quran memang turun dari salah satu dari empat varian regional ini. Dutton telah menunjukkan bahwa Codex Parisino-Petropolitanus dan British Library, London, Or. 2165 memiliki varian regional yang sesuai dengan codex regional Suriah[17]. Van Putten mengidentifikasi beberapa manuskrip lain sebagai bagian dari codex regional lainnya.[18]

Yang paling penting, dalam artikel terbarunya, Sidky melakukan studi stemmatis komprehensif melalui pemodelan filogenetik berdasarkan 30 manuskrip awal yang berbeda, tanpa mempergunakan data dari sumber-sumber literatur rasm. Analisis berskala besar ini juga menunjukkan bahwa manuskrip-manuskrip tersebut sangat sesuai dengan varian regional di suatu wilayah dibanding wilayah lain, dan jaringan stemmatis yang dihasilkan konsisten dengan stemma yang diturunkan dari data dalam sumber-sumber literatur rasm.[19]

Dari data ini, kita dapat menyimpulkan dengan yakin bahwa pada saat teks rasm Utsmani dikanonkan, empat salinan induk dibuat yang kemudian disebarkan ke empat wilayah penting di kekhilafahan Islam. Di tempat-tempat tersebut, keempat salinan induk ini terus disalin dengan ketelitian ekstrim selama berabad-abad.



[1] Tulisan ini merupakan terjemahan dari artikel Marijn van Putten yang bisa diakses melalui link berikut: https://doi.org/10.1163/9789004693623_009

[2] Nöldeke, et al., The History of the Qurʾān, 251ff.

[3] Sidky berpendapat bahwa Homs lebih mungkin daripada Damaskus, meskipun akhirnya Damaskus menjadi lebih penting dan sebagai hasilnya lebih representatif dari jenis teks tersebut. Sidky, "Regionality of the Quranic Codices," 171–174.

[4] Wansbrough, Quranic Studies.

[5] Yang paling terkenal adalah penanggalan awal fragmen yang secara umum dikenal sebagai fragmen Birmingham (Perpustakaan Penelitian Cadbury, Birmingham, Mingana Arabic 1572a) yang cukup menarik perhatian di media ketika penanggalan radiokarbonnya diterbitkan, menunjukkan rentang antara 568 M hingga 645 M – jika merujuk pada akhir awal rentang tersebut, teks tersebut berpotensi mendahului masa kehidupan Nabi Muhammad (lihat Fedeli, “Early Qurʾānic Manuscripts”). [tambahan penj] Jika digabungkan dengan data ortografi, terlihat jelas bahwa manuskrip ini masih merupakan ‘turunan’ dari sebuah mushaf dengan rasm Utsmani, lihat Dutton, Y. (2017). Two ‘Ḥijāzī’Fragments of the Qurʾan and Their Variants, or: When Did the Shawādhdh Become Shādhdh?. Journal of Islamic Manuscripts, 8(1), 1-56. Untuk pembahasan tentang penanggalan manuskrip melalui penanggalan radiokarbon, lihat juga Marx dan Jocham, “Radiocarbon (14C) Dating.” 

[6] Van Putten, “The Grace of God.”

[7]  Ibid., 279.

[8] Seperti tesis yang diajukan oleh De Prémare, “ʿAbd al-Malik.”

[9] Untuk diskusi terbaru yang membahas dan mempertanyakan keandalan penanggalan radiokarbon, lihat Shoemaker, Creating the Qurʾan. Saya tetap tidak yakin bahwa menyatakan Abd al-Malik sebagai pelaku standarisasi teks al-qurʾān  memberikan penjelasan yang lebih baik dibandingkan argumen paleografi dan sejarah seni yang diajukan oleh Déroche dalam Qurʾans of the Umayyads, yang secara jelas membedakan antara kodeks (mushaf) pra-Umayyah dan mushaf dari periode Umayyah.

[11] Déroche, Qurʾans of the Umayyads, 66.

[12] Ibn Abī Dāwūd, Kitāb al-Maṣāḥif.

[13] Al-Dānī al-Muqniʿ.

[14] Nöldeke et al., History of the Qurʾān, 396–399.

[15] Dalam KBBI, stema diartikan sebagai silsilah yang menggambarkan asal-usul naskah.

[16] Cook “Stemma.”

[17] Dutton, “An Early Muṣḥaf”; idem, “Some Notes.”

[18] Van Putten, “Hišām’s ʾIbrāhām,” 247–249.

[19] Sidky, “On the Regionality of the Quranic Codices.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buya Hamka Tentang Surah Asy-Syu'ara dan Pemusik

Kritik Teks al-Qurʾān (2): Ragam Qirāʾāt, Mushaf Sahabi, dan al-Qurʾān Edisi Kritis

Tafsir Suraʾ al-Fātiḥah Bahasa Duri