Peta Studi Qirāʾāt di Barat : Tesis dan Asumsi 'geng' Geschichte des Qorāns



Mustafa Shah adalah pengajar studi Islam dengan fokus utama pada tradisi gramatikal Arab dan Kalam di SOAS London. Meski demikian, ia juga cukup aktif dalam jagad studi Qur’an dan telah menulis beberapa artikel studi Qur’an yang tentunya kaya dengan analisis  atas pergulatan gramatikal dan teologis dalam konteks tafsir. Bagi yang ingin mendalami keterkaitan historis-filosofis tafsir dan kedua domain tersebut, tulisan Shah cukup bergizi. Menurut saya setidaknya.

Salah satu kontribusi terkini dan cukup penting dari Shah dalam studi Qur’an adalah keterlibatannya sebagai co-editor The Oxford Handbook of Qur’anic Studies. Selain menjadi editor, ia juga menuliskan beberapa entri, salah satunya tentang qira’at, topik yang memang lekat dengan area riset Shah. Tulisan tersebut ditampilkan sebagai survei yang deskriptif, tapi sebenarnya di sana sini, ia menunjukan aspek-aspek problematik dari tesisi yang ia tampilkan. Ya, mungkin tepat jika disebut pemetaan kritis. Meskipun penekanannya tetap pada pemetaan, bukan pada kritisnya. Postingan ini adalah upaya saya meringkas tulisan tersebut.[1]

Secara garis besar Shah membagi sejarah riset qira’at di Barat menjadi tiga titik kisar. Periode pertama dimulai dari proyek besar Noldeke (dan kawan-kawannya yang namanya susah dieja itu) yang berakhir tragis ketika Perang Dunia II pecah. Di sini Shah juga menyinggung mitos seputar “arsip yang hilang” yang ternyata tidak hilang itu. Titik kisar berikutnya dimulai dari kesarjanaan John Wansbrough dan John Burton serta mereka yang merespon dan mengikuti alur inkuiri mereka. Titik kisar ketiga adalah gairah baru studi qira’at yang dipicu oleh penemuan manuskrip-manuskrip Qur’an serta literatur terkait. Karena postingan blog afdholnya tidak terlalu panjang, maka pada part 1 ini hanya ditampilkan pemetaan Shah terhadap era awal, alias eranya Noldeke cs. 

Era Noldeke (d. 1930) dkk

Seperti telah dimaklumi, Geschichte des Qorans (pertama kali terbit pada 1860) adalah sebuah karya komposit. Ia dumulai oleh Noldeke tapi dilanjutkan dan disempurnakan oleh murid dan kolega-koleganya. Shah lebih banyak menyoroti Bergstrasser dan Pretzl dalam surveinya. Sebab kata Shah, suplemen kedua sarjana inilah yang memuat studi qira’at yang paling fokus dan tajam dalam Geschichte. Memang, sebelum menuliskan suplemen untuk karya Noldeke itu, Bergstraasser sudah menghasilkan sejumlah karya tentang qira’at. Fokusnya pada qira’at tidak bisa dilepaskan dari ambisinya menyusun sebuah ‘apparatus criticus’ untuk membantu memperjelas fase-fase historis transmisi teks al-Qur’an.

Tentang muasal dan proliferasi qira’at, Bergstrasser mengaitkannya dengan respon sarjana Muslim pada ‘inkonsistensi’ dan ‘ketidak-teraturan’ linguistik dalam Mushaf Utsmani. Salah satu yang ia kutip adalah al-Farra’ (d. 207/822). Bergstrasser mengandaikan bahwa pada masa itu, sikap semcam ini cukup umum, sebab para ulama itu tidak sedang merasa mengkritik isi al-Qur’an, melainkan mengkritik mereka yang meriwayatkannya – dan kemudian menuliskannya. Sikap inilah yang kemudian memicu kemunculan banyak variasi qira’at. Ragam qira’at itu adalah upaya untuk mengajukan alternatif bacaan pada rasm Utsmani yang lebih bisa diterima dari perspektif linguistik.

Asumsi dasar Bergstraasser itu pada gilirannya mengantarkannya pada dua konsekuensi logis. Pertama, mayoritas qira’at adalah produk pos-Usmanik. Kedua, sitesis qira’at sangat dipengaruhi oleh analisis kebahasaan. Di sini Shah menyinggung tesis Goldziher yang memiliki asumsi mendasar yang sama; qira’at adalah produk pos-Usmanik. Hanya saja, bagi Goldziher, motif prolifersi qira’at bukanlah kebahasaan saja, tapi lebih ke motif menyediakan justifikasi bagi pilihan hukum maupun penafsiran. Goldziher mengungkapkan bahwa rasm yang memang merupakan scripto defectiva alias tidak bertanda baca blas membuka ruang bagi aksi projecting back ini.

Dari era Noldeke dkk, Shah juga menyinggung Arthur Jeffrey. Tidak jauh beda dengan nama-nama di atas, Jeffrey juga menengarai motif-motif ideologis di dalam narasi tradisional umat Islam yang dianggapnya mengecilkan signifikansi historis qira’at non-kanonik yang terkait dengan mushaf pra-Utsmanik. Jeffrey yakin bahwa qira’at non-kanonik ‘dibolehkan bertahan’ hanya sejauh ia membantu proses tafsir dan tidak begitu penyimpang dari ortodoksi. Lagi-lagi, kiprah Ibnu Mujahid dianggap instrumental di sini.

Jeffrey banyak meneliti dua qurra’ nyentrik yang ia anggap dipersekusi karena praktik ikhtiyar mereka, yakni Ibnu Sannabudh dan Ibnu Miqsam. Terkait dengan dua tokoh ini, Jeffrey berhipotesis bahwa persekusi keduanya tidak bisa dilepaskan dari apa yang sebenarnya terjadi dalam khtiyar. Secara tradisional, ikhtiyar adalah praktik dimana seorang qari’ yang sebenarnya berpegang kepada qiraat otoritatif  tertentu, tapi di beberapa bagian ia memiliki pilihan cara membaca sendiri. Namun bagi Jeffrey, ikhtiyar adalah wahana interpretasi pembacaan rasm Utsmani dengan cukup bebas (considerable liberty of interpretation) dan cenderung arbiter. Maka upaya Ibn Mujahid dilihat oleh Jeffrey sebagai upaya menutup pintu ikhtiyar yang paralel dengan upaya kanonisasi teks al-Qur’an.

Terhadap Jeffrey, Shah memberikan komentar yang cukup lugas, tapi bukan di entri Oxford Handbook melainkan di artikelnya yang lain. Di dalam artikelnya yang membahas ‘pengadilan’ pada kedua qari’ tersebut dalam konteks keterkaitan sejarah tata bahasa Arab dan qira’at, Shah menegaskan bahwa pembacaan cermat terhadap sumber-sumber primer awal menunjukan kekeliruan Jeffrey; that is not the case. Ibn Miqsam dan Ibn Shannabudh, simpul Shah, telah melanggar konvensi yang selalu dianggap penting oleh para qari’. Pendekatan keduanya cukup radikal dimana konsiderasi linguistik (‘arabiyya) diutamakan di atas isnad.Praktik ini, kata Shah, tidak memiliki preseden.

Posisi Shah tentu berkebalikan dari tesis Jeffrey yang mengesankan bahwa praktik ikhtiyar ala Ibn Miqsan dan Ibn Sannabudh cukup umum sebelum diakhiri secara intelektual-politis oleh Ibn Mujahid. Jadi, alih-alih sebagai keumuman pra-Ibnu Mujahid, Shah berupaya menunjukan bahwa kedua qari’ tersebut justru pengecualian dan tidak mencerminkan apa yang terjadi sebelum atau bahkan setelah Ibnu Mujahid. Shah juga menunjukan bahwa kriteria kesesuain dengan rasm Usmani sudah muncul dalam kritik-kritik al-Farra’ pada beberapa qira’at. Termasuk yang belakangan masuk ke dalam daftar tujuh qira’at terpilih-nya Ibnu Mujahid, yakni qira’at Abu 'Amr ibn al-'Ala.

Terlepas dari (in)validitas tesis-tesis para pendahulu ini, Shah tetap menilai bahwa kerja-kerja Noldeke, Bergstaasser, Pretzl, termasuk Jeffrey sebagai pondasi kokoh studi qira’at di Barat. Mereka berperan besar memperkenalkan ragam manuskrip dan analisis-analisis menarik tentang tradisi ini. Bagian tentang qira’at di Geschichte tidak boleh dilewatkan bagi siapapun yang ingin mendalami topik ini. Begitu kata Shah.



[1] Jika mau merujuk ke buku asli para sarjana yang dipetakan Shah, silakan rujuk artikelnya. Referensinya luengkap. Di sini saya hanya mengutip saja langsung dari Shah (yang atas jasanya bagi penulis, semoga selalu dalam dekapan rahmat dan taufiq-Nya)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buya Hamka Tentang Surah Asy-Syu'ara dan Pemusik

Kritik Teks al-Qurʾān (2): Ragam Qirāʾāt, Mushaf Sahabi, dan al-Qurʾān Edisi Kritis

Mengenal Klasifikasi Gaya Penulisan Manuskrip al-Qurʾān Pada Empat Abad Pertama Hijriyah