Studi Qirāʾāt di Barat: Dari Wansbrough dan Burton ke Bukti-Bukti Manuskrip

 


Wansbrough dan Burton

Setelah era ‘early’ ini, Shah beralih ke generasi berikutnya yang diwakili oleh  John Wansbrough (d. 2002)  and John Burton (d. 2005). Keduanya meneliti qira’at dalam konteks penelusuran mereka pada proses konsolidasi teks al-Qur’an sebagai textus receptus. Menariknya, dua John ini sampai pada dua kesimpulan yang berbeda drastis. Manakala Wansbrough mengakhirkan kemunculan al-Qur’an sebagai teks stabil, Burton malah menariknya langsung kepada Nabi Muhammad.

Kemunculan al-Qur’an sebagai teks yang stabil bagi Wansbrough muncul lebih belakangan dari waktu yang disebutkan di dalam narasi tradisional. Ia melacak proses tersebut melalui analsis pada ragam literatur, salah satunya tafsir. Untuk kepentingan ini Wansbrough mengkategorisasikan tafsir menjadi  haggadic (naratif), halakhic (hukum), masoretic (leksikal), rhetoric dan allegoric. Kelimanya muncul secara kronologis. Nah, karena bahasan soal qira’at ia identifikasi sebagai elemen dari tafsir masoretik, Wansbrough pun menyimpulkan bahwa qira’at jenis ini – yang mengandung penjelasan leksikal/gramatikal – tentulah muncul belakangan. Jenis qira’at tersebut tidak mungkin ada sebelum abad ke-3/9 dan muncul sebagai produk aktivitas para mufasir.

Pemikiran Wansbrough tentang qira’at tentu tidak bisa dilepaskan dari anggapannya bahwa narasi tentang Mushaf Utsman dan masahif amsar adalah fiksi belaka. Padahal diskusi tentang qira’at, baik di tradisi Muslim maupun Barat, sangat erat dengan kedua entitas tersebut. Shah mengidentifikasi tiga argumen utama Wansbrough untuk meragukan eksistensi mushaf-mushaf kuno itu. Pertama, literatur kajian masahif dan qira’at tidak muncul sampai abad ke 3/9. Untuk ini Shah memberi catatan bahwa esensi dari literatur tersebut sebenarnya sudah muncul dalam genre ma’ani yang muncul lebih awal. Argumen kedua, ia menunjukan bahwa kutipan Qur’an hampir tidak ditemui dalam literatur fikih kuno, sedangkan argumen ketiga memakai logika yang sama tapi dalam literatur kalam kuno. Shah mengakui kecanggihan metode Wansbrough, tapi sayangya penemuan bukti keras berupa manuskrip al-Qur’an kuno menghilangkan taji klaim kuncinya, yakni klaim tentang kemunculan al-Qur’an sebagai teks stabil pada periode yang lebih akhir.

Meski kesimpulannya berbeda drastis dari Wansbrough terkait kemunculan teks al-Qur’an dan historistas mushaf Usmani, Burton memiliki penilaian serupa dengan Wansbroug soal qira’at sebagai produk belakangan. Wansbrough menganggapnya produk aktivitas penafsiran, sedangkan Burton menilainya sebagai buatan para fuqaha awal. Burton berkesimpulan bahwa bentuk akhir al-Qur’an, yang masih terlacak jelas dalam manuskrip yang kita miliki sekarang, kemungkinan besar adalah produk Nabi Muhammad sendiri. Tapi qira’at muncul belakangan.

Menurut Burton, qira’at muncul ketika para fuqaha berusaha mencari legitimasi Qur’ani bagi pandangan-pandangan fikih mereka. Itulah mengapa kita bisa melihat jejak-jejak perbedaan pendapat fikih dalam ragam qira’at. Salah satu bukti yang diajukannya adalah QS. 5:6 tentang wudu dan tayammum. Ada qira’at yang membaca arjulikum, ada pula yang mebaca arjulakum. Keduanya berimplikasi hukum berbeda. Keduanya adalah jejak-jejak perdebatan fikih yang kemudian terdokumentasikan sebagai qira’at.

Seperti dalam kasus Jeffrey, Shah juga memberikan catatan kritis pada Burton berdasarkan studi yang ia sendiri lakukan. Menurut Shah, argumen Burton tentang kemunculan qira’at sebagai efek dari perdebatan antar-mazhab pada fase awal Islam sulit diterima. Alasannya ada dua. Pertama, di dalam matriks argumen para fukaha itu, variasi qira’at menempati posisi yang inferior. Varian qira’at bukanlah sumber argumen utama. Lagipula, lanjut Shah, kasus semisal arjulikum vs arjulakum – yakni variasi qira’at yang menunjukan variasi semantik terlalu sedikit untuk bisa dikatakan sebagai hasil dari debat antar-mazhab. Sekiranya itu memang produk debat mazhab, seharusnya ada lebih banyak lagi contoh semacam itu.

Qira’at dan Bukti-Bukti dalam Manuskrip

Secara umum, Shah mengungkapkan bahwa bukti-bukti arsip (manuskrip) menunjukan adanya variasi qira’at non kanonik yang tidak terdokumentasikan dalam literatur qira’at klasik. Salah satu studi yang layak dirujuk di sini adalah kajian-kajian François Déroche. Dari penelitiannya terhadap Parisino petropolitanus codex, sebuah mushaf dari era Umayyah (pertengahan hingga akhir abad 1 Hijriyah), Deroche mengklaim adanya varias-variasi qira’at yang tidak terakomodasi oleh literatur qira’at yang muncul pada paruh akhir abad kedua hingga awal abad ketiga hijriyah. Meskipun codex itu, menurut Deroche, tetap menunjukan konsistensi dengan rasm Usmani.

Bicara soal manuskrip Qur’an tua, tentu tidak lengkap tanpa San’a Palimpsest dan peneliti utamanya seperti  Behnam Sadeghi, Mohsen Goudarzi, dan Asma Hilali (juga Puin). Secara garis besar, bagi Sadeghi dan Goudrazi, eksistensi manuskrip San’a ini merupakan bukti historisitas mushaf sahabi (Companion codex) dengan segala variasinya yang memang diakui dalam literatur qira’at tradisional. Manuskrip San’a ini, simpul Sadeghi dan Goudarzi lebih dekat ke mushaf Ibnu Mas’ud atau Mushaf Ubay dibanding Mushaf Usmani. Eksistensi Mushaf ini, yang terlacak hingga ke paruh kedua abad pertama Hijriyah menunjukan bahwa peredaran mushaf Sahabi dengan qira’atnya yang unik tetap diizinkan setelah kanonisasi Utsmanik. Meskipun pada akhirnya lama-lama ia ditinggalkan.

Di sisi lain, Asma Hilali mengkritik pendekatan para peneliti manuskrip ini, terutama peneliti manusrkip San’a.[1] Hilali menilai ada sebuah kecacatan metodologis di dalam riset-riset manuskrip seputar qira’at, dimana ada tendensi untuk menjadikan literatur qira’at tradisional sebagai patokan interpretasi data. Padahal, kata Hilai, data-data ril di dalam manuskrip-manuskrip tersebut tidak selalu dapat diinterpretasikan secara memuaskan jika hanya berpatokan pada keterangan ulama qira’at dan al-mashahif di dalam kitab-kitab mereka. Hilali mencotohkan bahwa di dalam manuskrip San’a ada varian-varian yang tidak terekam baik oleh qira’at mutawatir maupun yang syadz.

Fokus terakhir Shah adalah riset Alba Fedeli, peneliti yang namanya mencuat antara lain karena risetnya tentang manuskrip Qur’an di Brimingham. Fedeli juga meneliti manuskrip San’a, ia meragukan apakah betul variasi-variasi qira’at non-kanonik benar-benar berasal dari masa pra-Usmanik sembari berspekulasi bahwa kemungkinan muasal varian-varian ini justru setelah standarisasi Ibnu Mujahid bahwa qira’at harus sesuai dengan rasm. Catatan Shah adalah bahwa Fedeli bukan hanya mengabaikan motif Ibnu Mujahid, ia juga tidak memperhatikan bahwa Ibnu Mujahid hanya mendokumentasikan dan menyeleksi varian qira’at yang tersebar pada masanya. Terlibih lagi, lanjut Shah, ragam qira’at yang dicatat Ibnu Mujahid terbukti bisa dilacak ke teks-teks yang lebih awal utamanya teks-teks ma’ānī seperti karya al-Farrā’, (d. 215/830) dan Abu ʿUbayda (d. 209/824–5)

Kembali ke Ibnu Mujahid dan Perannya dalam Tradisi Qira’at

Di akhir tulisannya, Shah kembali mengunjungi Ibnu Mujahid dan perspepsi kesarjanaan Barat secara umum terhadap perannya. Di sini ia mengulang surveinya dari generasi Bergsträsser, Pretzl, dan Jeffery hingga generasi yang lebih kini seperti Melchert dan Smart. Semua sarjana ini memiliki satu asumsi yang sama, yakni pada proyek Ibnu Mujahid terdapat paradigm of limitation yang inheren. Shah mengomentari secara umum dengan menguraikan temuannya sendiri tentang Kitab as-Sab’ah.

Dari risetnya itu, Shah menyimpulkan bahwa Ibnu Mujahid tidak pernah berniat untuk menghambat praktik ikhtiyar yang berbasis tradisi, asalkan diatur oleh penggunaan preseden yang diakui dan didefinisikan dalam tradisi qira’at. Ibnu Mujahid secara khusus menentang proyeksi hipotetis qira’at yang didasarkan pada analogi gramatikal semata, yang dianggapnya sebagai praktik yang sangat salah. Penetapan tujuh bacaan (apalagi pembatasan pada tujuh) bukanlah tujuan Ibnu Mujahid. Bahkan, ia sendiri mengkritik qira’at yang konon ia kanonisasi itu di karyany yang lain. Oleh karena itu, simpul Shah, Ibnu Mujahid hanyalah memilih komposisi qira’at yang sudah banyak diterima sebagai otoritatif dalam tradisi qira’at yang sampai pada masanya.

Lalu mengapa kitab Ibnu Mujahid ini kemudian menjadi sangat populer? Shah mengatribusikan populeritas ini pada kerja-kerja kesarjanaan para ahli nahwu yang menjadikan Kitab as-Sab’ah sebagai objek kajian gramatikal mereka. Sosok-sosok besar ini meliputi antara lain  Ibn al-Sarrāj (d. 316/928), Abū ʿAlī al-Fārisī (d. 377/987), dan Ibn Khālawayhi. Karya-karya mereka ini kemudian menjadi rujukan penting dalam gramatikal bahasa Arab yang dalam perkembangannya memang sangat dipengaruhi oleh diskusi intensif tentang aspek-aspek linguistik dari ragam qira’at. Logika Shah ini tidak begitu jauh dari penjelasan yang diberikan oleh sarjaan seperti Walid Saleh ketika menjelaskan populartas Tafsir al-Baidhawi, atau Hallaq ketika menjelaskan tidak populernya ar-Risalah. Tampaknya memang ‘ketenaran’ suatu karya dalam tradisi Islam sering dipicu dan diukur dengan banyaknya sarjana yang 'mencantolkan' karya mereka ke kitab tersebut; menjadikannya objek syarah, hasyiah, muktashar, dst. 

Di akhir banget dari tulisannya, Shah lalu dengan meringkas sejarah panjang kesarjanaan qira’at setelah Ibnu Mujahid hingga ke ulama besar abad ke 18, Ahmad ad-Dimyathi al-Bannai untuk menggambarkan secara panoramik perkembangan tradisi qira’at pasca Ibnu Mujahid. Salah satu feature yang jelas terlihat adalah adanya upaya tak habis-habis untuk menambahkan ragam qira’at kepada tujuh qira’aat tersebut. Kata Shah, ketika al-Dimyathi (d. 1117/1705) mengarang kitabnya Itḥāf fuḍalāʾ al-bashar, dimana ia menambahkan empat bacaan lagi pada sepuluh qira’at yang telah ada, pada dasarnya al-Banna sebenarnya sedang melibatkan diri dalam tradisi pengumpulan, dan penyusun kembali kumpulan material qira’at yang secara tradisional telah dipreservasi, diakui, dan diklasifikasikan dalam literatur sebelumnya. Demikain penilaian Shah.

 



[1] Tunggu reveiw tulisannya di blog kesayangan anda, studitafsir eh maksudnya rujuktafsir! Yang mau baca duluan, ini judulnya: The Qur’ān Before the book.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buya Hamka Tentang Surah Asy-Syu'ara dan Pemusik

Kritik Teks al-Qurʾān (2): Ragam Qirāʾāt, Mushaf Sahabi, dan al-Qurʾān Edisi Kritis

Mengenal Klasifikasi Gaya Penulisan Manuskrip al-Qurʾān Pada Empat Abad Pertama Hijriyah