Gaza bukan Penjara, Serbuan Israel bukan Tragedi: Strategi Kebahasaan dalam Perjuangan Palestina
Ketika mesin-mesin jagal Israel mulai dipanaskan menyusul kegagalan militer mereka pada 7 Oktober lalu,[1] ragam komentar tentang isu Palestina pun menyeruak. Di dalam komentar-komentar itu, kerap ditemukan frasa-frasa yang menjadi semacam meme: fenomena kebudayaan yang menyebar dari pembicara ke pembicara lainnya dengan tujuan yang belum tentu sama. Seorang mengucapkannya, lalu media mengutipkanya, dan orang-orang lain pun latah mengulangnya. Begitu seterusnya.
Salah satu dari
frasa memetic itu adalah; Gaza is the largest open-air prison in the world, Gaza
adalah penjara terbuka terbesar di dunia”. Mulai dari utusan PBB, politis
Barat, hingga Angelina Jolie turut menggunakan istilah ini. Banyak yang
memakainya sebagai deskripsi betapa miris kondisi masyarakat Gaza yang telah
terblokade sejak dua decade ini. Lainnya mungkin sekedar deskripsi saja. Sebab,
memang begitulah keadaan Gaza.
Ekspresi “Gaza
adalah penjara” berangkat dari rasa iba dan mungkin keberpihakan. Namun tidak
begitu bagi Lauren Booth. Bagi jurnalis Inggris yang menjadi muallaf setelah –
salah satunya – merasakan kebaikan hati emak-emak Palestina, Gaza bukanlah
penjara. Booth mengajak kita untuk berhenti menggunakan terminology ini, sebab
ada istilah yang lebih tepat, yakni ‘kamp konsentrasi’, concentration camp.
Jika arti frasa
ini ditelusuri di berbagai kamus online, hampir semua definisinya sesuai dengan
kondisi Gaza. Salah satu yang cukup singkat tapi paling mengena adalah ini: a
prison where large numbers of people are kept in very bad conditions,
especially for political reasons (penjara dimana sejumlah besar orang dikurung
dalam kondisi yang buruk, utamanya karena alasan politis).[2]
Lagipula, mereka yang dipenjara mendapatkan perlakuan manusiawi, makanan
dijamin, dan berhak atas pengadilan yang adil. Tanpa semua itu, maka sebuah
tempat tawanan raksasa seperti Gaza memang sangat sesuai dengan definisi kamp
konsentrasi.[3]
Selain untuk
memberikan istilah yang lebih sesuai fakta alias untuk mengungkapkan kebenaran,
strategi kebahasaan Booth juga sangat pas untuk konteksnya sebagai seorang
advokat Palestina di tengah lautan masyarakat Barat. Frasa concentration
camp punya efek luar biasa pada memori kolektif orang Barat. Pengucapannya
saja membuat mereka membayangkan tempat-tempat horror dimana orang-orang Yahudi
dikumpulkan dalam kondisi memprihatinkan oleh serdadu Hitler, menunggu saat
dieksekusi. Kamp konsetrasi tidak bisa dilepaskan dari Holocoust, dan Holocoust
adalah alasan moral paling penting bagi mereka untuk terus berpihak pada
Israel. Lalu, ketika malah Israel yang melakukan Holocoust, apa jadinya?
Mungkin farasa
ini tidak memiliki efek sama bagi masyarakat Muslim. Kita tidak merasa
“tersinggung” dan atau tergelitik ketika mendengarnya. Namun sebenarnya ada
frasa memetic lainnya yang kerap kita ulang, padahal jika istilah yang lebih
tepat digunakan, kita akan merasakan efek kejut serupa. Frasa itu adalah
“tragedy Gaza”.
Dalam podcast
Wonderhome Library, Ovamir Anjum mengajak kita untuk tidak lagi menyebut Gaza
sebagai tragedy.[4]
Intelektual Muslim dari Amerika ini beralasan bahwa tragedy berasal dari term
Yunani yang berarti keadaan menyedihkan yang mendalam tapi nir-makna. Istilah
ini mengandung bibit pesimisme dan nihilism. Sebuah kejadian yang tidak dapat
dipahami tapi dirasakan dengan penuh kesedihan.
Bagi Anjum, apa
yang terjadi di Palestina jelas bukan tragedy. Pertama-tama, peristiwa ini
memiliki akar sejarah yang jelas; pembersihan etnis pada 1948 yang menandai
dimualinya kolonialisme pendudukan (settler colonialism). Selain itu, penduduk
Gaza ditengah kezaliman luar biasa itu menunjukan sebuah optimism tanpa
tanding. Mereka menunjukan kegigihan tak terperi. Saya rasa kegigihan dan
optimism ini lahir bukan dari jiwa tragik. Ia lahir dari jiwa besar para
pejuang sejati. Saya pikir makna inilah yang ditangkap nurani insani Michael
Hart ketika ia menonton berita Palestina di kamarnya, menggiring musisi indi
itu untuk menuliskan lagunya yang kemudian masyhur; we will not go down, in
the night without a fight.
Anjum mengungkap
bahwa di Barat, kegigihan orang-orang Gaza bahkan menginspirasi beberapa orang
untuk memeluk Islam. Jadi ada makna besar dari petistiwa Gaza. Justru, lanjut
dia, Gaza menjadi tragedy bagi mereka yang gagal menangkap makna tersebut.
Yaitu orang-orang Muslim yang memalingkan diri dan tidak mau peduli pada nasib
perjuangan Palestina.
Apa yang
dilakukan oleh Booth dan Anjum mungkin mirip dengan “strategi kebahasaan”
al-Qur’an dalam menggambarkan para syuhada pada al-Baqarah – 154. Di dalam Tafsīr
al-Munīr, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa sababunnuzul ayat
ini terkait dengan peristiwa setelah Perang Badar. Tersiar komentar memtic bahwa
mereka telah mati (māta fulān) dan tidak lagi merasakan kenikmatan
dunia. As-Sa’di menjelaskan bahwa secara kebahasaan māta memang
mengandung makna lenyap. Jadi, memang komentar-komentar itu tampaknya lahir
dari sisa-sisa worldview nihilistic-tragik ala bangsa Arab Jahili yang secara
revolusioner ditantang oleh al-Qur’an.[5]
Komentar-komentar
nihilistic ini lalu dibalas oleh al-Qur’an;
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَٰكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
Janganlah
kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan
mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki!
Selain berdoa
agar kezaliman penjajahan atas tanah Palestina segera berakhir, kita pun berdoa
bagi para korban agar terhitung sebagai syuada. Namun yang paling penting, perlu
pula mendoakan diri agar tidak menjadi korban tragedy yang sesngguhnya: menjadi
pribadi tragik, apatis, nihilistic, dan pesmistik di tengah keteguhan
orang-orang Gaza.
[1] Untuk memahami maksud kami, silakan baca: https://kumparan.com/kumparannews/polisi-israel-peserta-konser-supernova-ditembaki-militer-israel-364-tewas-21bqo8ycXxp?utm_campaign=int&utm_medium=post&utm_source=Twitter
[3] Setidaknya jika melihat punya Britannica: https://www.britannica.com/topic/concentration-camp
[5] Untuk penjelasan soal ini, baca artikel Neuwirth,
A. (2016). The ‘Discovery of Writing’ in The Qur’an: Tracing An Epistemic
Revolution in Late Antiquity. Nun: Jurnal Studi Alquran Dan Tafsir Di Nusantara, 2(1). https://doi.org/10.32459/nun.v2i1.2
Komentar
Posting Komentar