Mengungkap Kohesi dan Koherensi Al-Qur'an ala M. Abdel Haleem
Memahami koherensi dalam Al-Qur'an
memerlukan apresiasi yang mendalam terhadap struktur uniknya dan kebiasaan
penurunan wahyu. Prof. Abdel Haleem menekankan bahwa di dalam al-Qur’an
integrasi gagasan yang mulus tidak bergantung pada perangkat kohesif formal
yang umum digunakan oleh penulis modern. Sebagai ilustrasi, teks-teks modern biasanya
secara eksplisit menandai contoh dengan frasa seperti "Aku akan memberi
contoh" atau "misalnya," Al-Qur'an menyajikan gagasan-gagasan
secara organic dan mengalir; contoh akan dimunculkan dan dipahami oleh pembaca
tanpa alat kohesif formal seperti itu.
Prof. Haleem mengungkapkan bahwa koherensi
al-Qur’an yang muncul secara natural itu bisa menjadi indikasi tiadanya proses
penyuntingan, termasuk oleh Nabi Muhammad. Sebab penyunting akan terdorong
untuk memasukan kata-kata sisipan yang membuat koherensi dan kohesivitasnya
akan tampak lebih jelas. Jika boleh menambahai, saya membayangkan mungkin
bentuk al-Qur’an yang sudah diedit itu akan mirip dengan tafsir ‘naratif’ yang
muncul di periode awal seperti Tafsir Muqatil bin Sulayman. Dalam tafsir semacam ini, mufasir akan menyisipkan
kata-kata tertentu untuk mengeksplisitkan koherensi dan kohesi naratif al-Qur’an.
Prof Haleem sempat menyebut karya
Al-Razi, "Adat Kitab al-Aziz," sebagai kitab yang bisa jadi rujukan
untuk mengetahui ‘kebaisaan’ naratif al-Qur’an. Tapi saya lupa persisnya judul
kitab itu. Hehe. Di catatan kuliah ya tertulisnya gitu. Kitab ini katanya menegaskan kebiasaan
Al-Qur'an untuk menyatukan gagasan secara koheren. Pendekatan unik ini memungkinkan
Al-Qur'an untuk dikutip secara luas, menunjukkan konsistensi internalnya dan
keterkaitan antar ayat-ayatnya.
Untuk memahami koherensi yang
tersemat dalam Al-Qur'an, langkah-langkah tertentu perlu diikuti. Pertama-tama,
ada kebutuhan untuk mengasumsikan bahwa gagasan-gagasan yang disajikan saling
memadukan dengan sempurna. Prasangka ini meletakkan dasar untuk mengungkap
keterkaitan rumit dalam teks. Selain itu, memberikan perhatian yang teliti pada
pemilihan kata menjadi krusial dalam mendekripsi nuansa dan makna-makna subtil
(halus pisan) yang berkontribusi pada koherensi keseluruhan.
Contoh ilustratif tentang koherensi
dapat ditemukan dalam Surah Al-Ahzab (9-27). Dimulai dengan larangan-larangan,
termasuk larangan memanggil anak angkat dengan nama ayah angkatnya, surah ini
secara tegas berlawanan dengan praktik-praktik masa jahiliyah. Di tengah
pembahasan larangan-larangan ini, kaum mukmin diingatkan akan pertolongan Allah
melawan pasukan sekutu kafir dan munafik alias pasukan Ahzab.
Dalam kasus ini, narasi serangan
pasukan Ahzab berfungsi sebagai alat, menekankan bahwa surah ini bukan hanya
tentang Ahzab tetapi berfungsi sebagai sarana untuk mendorong kaum mukmin
mematuhi larangan-larangan yang dijelaskan sebelumnya itu. Ini pada dasarnya
menyampaikan pesan untuk mengingat berkah Allah dan kesulitan yang mereka
hadapi, mendorong mereka untuk taat terhadap petunjuk ilahi dan mengabaikan
kritik dari orang kafir dan munafik. Fungsi naratif ini mencerminkan peran
cerita dalam menyampaikan pesan yang lebih luas.
Jadi menurut Prof. Haleem, mengapa peristiwa
Ahzab disebutkan ketika al-Qur’an sedang melarang kaum Mukmin mengikuti adat-adat
Jahiliyah? Supaya orang mukmin sadar; lha ngapain saya dengarin orang-orang
Arab Jahili itu, mereka aja udah sersatu padu ingin memusnahkan komunitasku!
Mending adat-adat mereka terkait adopsi anak dan lain-lain itu sekalian
ditinggal aja!
Pola interupsi yang ternyata alat
koherensi bisa juga dilihat pada Ayat Al-Kursi. Al-Qur'an memerintahkan kaum
mukmin untuk bersedekah sebelum ayat tersebut. Ayat Al-Kursi kemudian
menginterupsi narasi, berfungsi sebagai pengingat akan kekuasaan mutlak Allah
atas segala sesuatu. Ayat ini berfungsi untuk menanamkan pengenalan bahwa
melepaskan harta bukanlah perkara yang mudah bagi manusia. Interupsi dan
pengingatan ini ditempatkan secara strategis, sesuai dengan konteks dan
menekankan usaha Al-Qur'an untuk memastikan ketaatan, terutama saat dihadapkan
pada instruksi yang sulit. – emang ngeluarin hart aitu sulit sekali, tapi
Allah maha kuasa, jadi tidak perlu risau soal kesejahteraanmu setelah
bersedekah.
Contoh lainnya terdapat dalam
Al-Baqarah (237), di mana serangkaian ayat membahas masalah mahar dalam
perceraian sebelum berpindah ke pembahasan tentang shalat khauf. Transisi ini
tidak sembarangan; itu berakar pada konsep bahwa suasana shalat, terutama
setelah Ashar dan secara umum, seharusnya memupuk kasih sayang di antara kaum
mukmin dan membantu mereka melupakan perselisihan internal.
Dari sudut pandang linguistic pun tampak
bahwa shalat adalah penawar bagi thalaq. Istilah
"thalaq,"berarti berpisah sedangkan "shalat," berasal dari
"shilah" yang berarti menghubungkan. Hal ini, kata Prof Haleem, memberikan
wawasan tentang simbolisme mendalam shalat dalam menyatukan individu. Lebih
lanjut, diskusi tentang suasana perang, di mana orang harus shalat khauf dan rapat
dalam shaf, sejalan dengan gagasan menyelesaikan perselisihan dalam rumah
tangga. – jagalah kekompakan rumah
tangga sebagimana para pasukan perang kompak dalam shalat khauf. Dengan begitu,
maka thalaq bisa dihindari.
Menurut Prof. Haleem, penggunaan
shalat sebagai alat untuk menyampaikan
pesan tambahan menjadi pola berulang dalam Al-Qur'an. Jadi untuk menangkap
hikmah-hikmah shalat, kita perlu melihat konteks diperintahkannya dalam berbagai
tempat dalam al-Qur’an. Setiap tempat bisa menyimpan pesan berbeda-beda.
Sebagai kesimpulan eksplorasi
koherensi dalam Al-Qur'an ala Prof. Abdel Haleem,
memungkinkan kita untuk mengapresiasi al-Qur'an sebagai teks dengan koordinasi gagasan dan
narasi yang apik. Struktur unik Al-Qur'an, tanpa perangkat kohesif formal,
menunjukkan sifat organik dan otentiknya, mendorong pembaca untuk menyelami
makna-makna yang mendalam.
Komentar
Posting Komentar