Mengungkap Kohesi dan Koherensi Al-Qur'an ala M. Abdel Haleem



Kenalan dulu ya. Jadi, Muhammad A. S. Abdel Haleem adalah guru besar studi Qur’an asal Mesir yang menyandang gelar OBE (Officer of the Order of the British Empire) dan FCIL (Fellow of the Chartered Institute of Linguists). Beliau menjabat sebagai King Fahd Professor of Islamic Studies di School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London. Salah satu karya fenomenalnya adalah terjemahan al-Qur’an dalam Bahasa Inggris. Terjemahan ini menjadi standar baru di dunia akadmik, menggantikan terjemahan-terjemahan Inggris terdahulu.  Tulisan ini adalah catatan kuliah yang sempat saya ikuti sebagai siswa audit selama kuliah dulu yang sempat saya tulis. Sisanya kebanyakan lupa. Sad!

Memahami koherensi dalam Al-Qur'an memerlukan apresiasi yang mendalam terhadap struktur uniknya dan kebiasaan penurunan wahyu. Prof. Abdel Haleem menekankan bahwa di dalam al-Qur’an integrasi gagasan yang mulus tidak bergantung pada perangkat kohesif formal yang umum digunakan oleh penulis modern. Sebagai ilustrasi, teks-teks modern biasanya secara eksplisit menandai contoh dengan frasa seperti "Aku akan memberi contoh" atau "misalnya," Al-Qur'an menyajikan gagasan-gagasan secara organic dan mengalir; contoh akan dimunculkan dan dipahami oleh pembaca tanpa alat kohesif formal seperti itu.

Prof. Haleem mengungkapkan bahwa koherensi al-Qur’an yang muncul secara natural itu bisa menjadi indikasi tiadanya proses penyuntingan, termasuk oleh Nabi Muhammad. Sebab penyunting akan terdorong untuk memasukan kata-kata sisipan yang membuat koherensi dan kohesivitasnya akan tampak lebih jelas. Jika boleh menambahai, saya membayangkan mungkin bentuk al-Qur’an yang sudah diedit itu akan mirip dengan tafsir ‘naratif’ yang muncul di periode awal seperti Tafsir Muqatil bin Sulayman.  Dalam tafsir semacam ini, mufasir akan menyisipkan kata-kata tertentu untuk mengeksplisitkan koherensi dan kohesi naratif al-Qur’an.

Prof Haleem sempat menyebut karya Al-Razi, "Adat Kitab al-Aziz," sebagai kitab yang bisa jadi rujukan untuk mengetahui ‘kebaisaan’ naratif al-Qur’an. Tapi saya lupa persisnya judul kitab itu. Hehe. Di catatan kuliah ya tertulisnya gitu.  Kitab ini katanya menegaskan kebiasaan Al-Qur'an untuk menyatukan gagasan secara koheren. Pendekatan unik ini memungkinkan Al-Qur'an untuk dikutip secara luas, menunjukkan konsistensi internalnya dan keterkaitan antar ayat-ayatnya.

Untuk memahami koherensi yang tersemat dalam Al-Qur'an, langkah-langkah tertentu perlu diikuti. Pertama-tama, ada kebutuhan untuk mengasumsikan bahwa gagasan-gagasan yang disajikan saling memadukan dengan sempurna. Prasangka ini meletakkan dasar untuk mengungkap keterkaitan rumit dalam teks. Selain itu, memberikan perhatian yang teliti pada pemilihan kata menjadi krusial dalam mendekripsi nuansa dan makna-makna subtil (halus pisan) yang berkontribusi pada koherensi keseluruhan.

Contoh ilustratif tentang koherensi dapat ditemukan dalam Surah Al-Ahzab (9-27). Dimulai dengan larangan-larangan, termasuk larangan memanggil anak angkat dengan nama ayah angkatnya, surah ini secara tegas berlawanan dengan praktik-praktik masa jahiliyah. Di tengah pembahasan larangan-larangan ini, kaum mukmin diingatkan akan pertolongan Allah melawan pasukan sekutu kafir dan munafik alias pasukan Ahzab.

Dalam kasus ini, narasi serangan pasukan Ahzab berfungsi sebagai alat, menekankan bahwa surah ini bukan hanya tentang Ahzab tetapi berfungsi sebagai sarana untuk mendorong kaum mukmin mematuhi larangan-larangan yang dijelaskan sebelumnya itu. Ini pada dasarnya menyampaikan pesan untuk mengingat berkah Allah dan kesulitan yang mereka hadapi, mendorong mereka untuk taat terhadap petunjuk ilahi dan mengabaikan kritik dari orang kafir dan munafik. Fungsi naratif ini mencerminkan peran cerita dalam menyampaikan pesan yang lebih luas.

Jadi menurut Prof. Haleem, mengapa peristiwa Ahzab disebutkan ketika al-Qur’an sedang melarang kaum Mukmin mengikuti adat-adat Jahiliyah? Supaya orang mukmin sadar; lha ngapain saya dengarin orang-orang Arab Jahili itu, mereka aja udah sersatu padu ingin memusnahkan komunitasku! Mending adat-adat mereka terkait adopsi anak dan lain-lain itu sekalian ditinggal aja!

Pola interupsi yang ternyata alat koherensi bisa juga dilihat pada Ayat Al-Kursi. Al-Qur'an memerintahkan kaum mukmin untuk bersedekah sebelum ayat tersebut. Ayat Al-Kursi kemudian menginterupsi narasi, berfungsi sebagai pengingat akan kekuasaan mutlak Allah atas segala sesuatu. Ayat ini berfungsi untuk menanamkan pengenalan bahwa melepaskan harta bukanlah perkara yang mudah bagi manusia. Interupsi dan pengingatan ini ditempatkan secara strategis, sesuai dengan konteks dan menekankan usaha Al-Qur'an untuk memastikan ketaatan, terutama saat dihadapkan pada instruksi yang sulit. – emang ngeluarin hart aitu sulit sekali, tapi Allah maha kuasa, jadi tidak perlu risau soal kesejahteraanmu setelah bersedekah.

Contoh lainnya terdapat dalam Al-Baqarah (237), di mana serangkaian ayat membahas masalah mahar dalam perceraian sebelum berpindah ke pembahasan tentang shalat khauf. Transisi ini tidak sembarangan; itu berakar pada konsep bahwa suasana shalat, terutama setelah Ashar dan secara umum, seharusnya memupuk kasih sayang di antara kaum mukmin dan membantu mereka melupakan perselisihan internal.

Dari sudut pandang linguistic pun tampak bahwa shalat adalah penawar bagi thalaq. Istilah "thalaq,"berarti berpisah sedangkan "shalat," berasal dari "shilah" yang berarti menghubungkan. Hal ini, kata Prof Haleem, memberikan wawasan tentang simbolisme mendalam shalat dalam menyatukan individu. Lebih lanjut, diskusi tentang suasana perang, di mana orang harus shalat khauf dan rapat dalam shaf, sejalan dengan gagasan menyelesaikan perselisihan dalam rumah tangga.  – jagalah kekompakan rumah tangga sebagimana para pasukan perang kompak dalam shalat khauf. Dengan begitu, maka thalaq bisa dihindari.

Menurut Prof. Haleem, penggunaan shalat sebagai  alat untuk menyampaikan pesan tambahan menjadi pola berulang dalam Al-Qur'an. Jadi untuk menangkap hikmah-hikmah shalat, kita perlu melihat konteks diperintahkannya dalam berbagai tempat dalam al-Qur’an. Setiap tempat bisa menyimpan pesan berbeda-beda.

Sebagai kesimpulan eksplorasi koherensi dalam Al-Qur'an ala Prof. Abdel Haleem, memungkinkan kita untuk mengapresiasi al-Qur'an sebagai teks dengan koordinasi gagasan dan narasi yang apik. Struktur unik Al-Qur'an, tanpa perangkat kohesif formal, menunjukkan sifat organik dan otentiknya, mendorong pembaca untuk menyelami makna-makna yang mendalam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buya Hamka Tentang Surah Asy-Syu'ara dan Pemusik

Kritik Teks al-Qurʾān (2): Ragam Qirāʾāt, Mushaf Sahabi, dan al-Qurʾān Edisi Kritis

Mengenal Klasifikasi Gaya Penulisan Manuskrip al-Qurʾān Pada Empat Abad Pertama Hijriyah