Ad-Dahhak bin Muzahim: Intelektual 'Organik', Pelopor Tradisi Tafsir Khurasan
Jika melihat karir para pelopor tafsir, utamanya mereka yang aktif di daerah-daerah yang bergejolak di pinggiran khilafah (tradisi tafsir Khurasan), emang mereka sosok teladan. Mereka tetap produktif menulis meskipun sering terseret gonjang-ganjing politik. Mereka dipenjara atau diasingkan dengan berbagai alasan oleh para sultan, sebab mereka berani 'speaking truth to power'. Mereka menyampaikan kebenaran kepada publik, sehingga corak tafsirnya belum benar-benar skolastik, dan 'kebenaran' kepada penguasa, sehingga mereka layak disebut intelektual organik, kalau kata sobat ahlul Gramsci wal jamaah. Tulisan ini akan membahas salah satu sosok itu, ad-Dahhak bin Muzahim, bapak tafsir Khurasan.
Tapi sebelum
berangkat ke Khurasan di akhir era Umayyah, mari kita ke pusat khilafah di masa-masa
genting menjelang lahirnya dinasti ini. Kita akan bertemu dengan penghulu para
mufasir, Abdulah Ibnu Abbas (w. 68/667). Kita tahu persis bagaimana beliau
diletakan takdir Allah di titik inti badai instabilitas politik di akhir
Khilafah Rasyidah; beliau berperan penting melakukan deradikalisasi di kandang
Khawarij. Ditengah tugas politik-intelektual yang berat itu, beliau tak lupa
mewariskan ilmunya, meneruskan 'bayi' tafsir ke para tabiin agung.
Salah satu
sejarawan tafsir dari tradisi Nisaphur, Ibnu Bistam (w. 425/1034), menyebutkan
sepuluh tabiin yang paling berpengaruh dalam transmisi tafsir dari Ibnu Abbas
ke generasi berikutnya. Mereka adalah Said ibn Jubair (w. 95/713), Ikrima
(w. 105/723), Abu Salih, Mujahid bin Jabir
(w. 104/722), Abu ‘Aliya bin Mihran (w. 93/711), ad-Dahhak bin Muzahim (w.
106/724), Ali bin Abi Talha al-Hasyimi (w. 120/737), Abu Mijlaz Lahiq bin
Humaid as-Sadusi (w. 106/724), Hasan al-Bashri (w. 110/728), dan Qatada bin
Diamah as-Sadusi (w. 118/736). Mereka tidak semuanya bisa dipastikan
benar-benar bertemu Ibnu Abbas, tapi bisa jadi di antara mereka ada relasi
guru-murid yang menjadi kendaraan transmisi tradisi tafsir.
Di antara sepuluh
orang ini, pejalanan tafsir ke timur salah satunya dibawa oleh Said ibn Jubair.
Beliau adalah satu di antara banyak ulama yang menjadi korban al-Hajjaj bin Yusuf
ats-Tsaqafi, gubernur Umayyah yang terkenal kejam itu. Intervensi disruptifnya
pada diskursus seputar qiraat sahabat juga kelakuan-kelakuannya yang lain
membuat para ulama bersuara menegurnya. Bisa ditebak, nasib para ulama itu tak jauh
dari diasingkan, dipenjara, atau dieksekusi. Ibn Jubair mengalami ketiganya. Ia
sempat dipenjara di Kufah, lalu dieksekusi di Wasit, tapi sebelum itu, ia sempat
diasingkan ke Isfahan pada tahun 83/720.
Di masa
pengasingan inilah, Ibnu Jubair membawa ilmu tafsir ke timur. Dari Isfahan ia
sempat berangkat ke Azerbaijan, melewati Rayy. Sejarawan memperkirakan bahwa dari
tahun 82/701 sampai 94/714, Ibnu Jubair aktif mengajarkan tafsir di daerah tempatnya
dibuang. Salah satu muridnya adalah ulama penting yang menjadi pelopor tradisi
tafsir Khurasan di Balkh, ad-Dahhak bin Muzahim.
Setelah mengirimkan
doa ke Ibnu Jubair, mari lanjutkan perjalanan kita bersama ad-Dahhak. Claudie
Guillot, seorang orientalis Prancis meringkas karir ad-Dahhak seperti ini; a
schoolmaster, story teller, exegete, and warrior at work in Khurasan. Seorang pengasuh
Kuttab, pendidik masyarakat, mufasir, dan kesatria yang berkarya di Khurasan.
Ad-Dahhak hidup
di masa ketika bibit-bibit revolusi anti-Umayyah mulai tumbuh di Khurasan. Tapi
tanpa dinamika politik dalam negeri pun, daerah ini tetaplah tidak stabil,
sebab ia berada di pinggiran khilafah. Setiap kali para sultan di Damaskus
hendak meluaskan wilayah, atau ketika musuh ingin merebut teritori khilafah,
tentu penduduk kota inilah yang paling merasakannya. Di kota-kota sekitar
Khurasan, khususnya Balkh, garrison-garrison dibangun tempat para muqatil
(prajurit pelopor) ditugaskan. Konon, keadaan inilah yang menginspirasi nama
Muqatil bin Sulayman (d. 150/765) dan Muqatil bin Hayyan. Dua mufasir penting
dari Balkh. Produk dari tradisi tafsir rintisan ad-Dahhak.
Di tengah instabilitas
itu, ad-Dahhak bin Muzahim tetap aktif mengajar. Ia mengumpulkan anak-anak
yatim, budak, pria dan wanita di kuttabnya dan mengajarkan mereka al-Qur'an
secara cuma-cuma. Disebutkan bahwa seitar 3000 anak-anak dari berbagai kalangan
menjadi santrinya. Caranya mengajarnya membuat al-Qur'an terasa dekat, nikmat,
dan mudah dipahami. Dia memang seorang pencerita ulung; tradisnya melahirkan
tradisi tafsir naratif Khurasan yang khas. Dua kutub ini, (mufasir dan qussas),
membuat reputasinya jadi ambigu; tafsirnya diakui tapi riwayat hadisnya
dicurigai. Nasib yang sama, bahkan lebih parah, menimpa Muqatil bin
Sulayman.
Selain aktif
membina masyarakat dan mendidik santri-santri yatimnya, ad-Dahhak juga
dicari-cari oleh para pejabat. Ia diangkat menjadi qadi di Khurasan. Jabatan
ini membuat posisinya sering dilematis. Sering para pejabat dan panglima kejam
datang padanya meminta fatwa dengan agenda terselubung. Berharap Dahhak
memberikan legitimasi keagamaan. Ia diriwayatkan sering terjaga di malam hari,
sebab khawatir jika fatwa dan putusannya sebagai qadi lahir dari niat
menyenangkan hati penguasa, bukan mencari ridha Allah.
Claude Guilliot,
mengomentari riwayat ini, "jika kisah kematiannya bisa kita terima, jelas
ia memilih Allah di atas para sultan." Kisah yang dimaksud Guilliot adalah
riawat ketegasan ad-Dahhak di hadapan para panglima rezim Bahili. Jadi
ceritanya, suatu ketika seorang jendral yang membunuh Muslim tak berdosa
meminta fatwanya, "Apakah pelanggarannya itu bisa dimaafkan?"
"Tidak" tegas ad-Dahhak. Seketika ia berubah dari qadi menjadi
pesakitan. Ia diasingkan ke Herat dan meninggal di sana.
Begitulah akhir
hidup bapak tafsir Khurasan ini. Ia meninggal sebagai orang buangan, sementara
para pejabat itu hidup bergelimang nikmat dunia. Sebelum mereka juga
digulingkan oleh politisi lainnya. Klan-klan polilitk-militer yang berebut
pengaruh di Khurasan datang dan pergi, tapi semua orang tahu bahwa hati
orang-orang Khurasan berada dibawah ayoman ad-Dahhak. Ketika khalifah Abdul Malik
bin Marwan bertanya pada muhaddis besar Ibnu Syihad az-Zuhri, “Fa man yasudu
ahla khurasan?” Siapa yang memimpin penduduk Khurasan? az-Zuhri menjawab lugas,
“ad-Dahhak bin Muzahim!”
Komentar
Posting Komentar