Menguji Autentisitas Riwayat Tafsir dan Qirāʾāt Periode Awal : Kasus Abū Mijlaz
1. Mukadimah
Apakah riwayat tafsir dan qiraat yang sampai kepada kita dari generasi mufasir awal – yakni masa Ibnu Abbas dan murid-muridnya – memiliki nilai historis atau sekedar bernilai sastrawi? Jika nilanya hanya sastrawi (literary) berarti data-data tersebut hanya memberitahukan kepada kita bagaimana para mufasir itu dikonstruk dalam memori para sarjana Muslim pada generasi setelahnya.
Data-data sastrawi itu tidak memiliki daya untuk memberikan kita gambaran tentang apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu. Namun jika riwayat-riwayat itu memang memiliki nilai historis, yakni benar-benar bisa dibuktikan bahwa ia berasal dari otoritas yang diklaim mengucapkannya, makai ia bisa menjadi basis bagi rekonstruksi historis. Data-data itu benar-benar bisa membantu kita memahami lebih baik kondisi tafsir pada masa formatifnya. Atau setidaknya pada masa hidup tokoh yang diklaim mengucapkan atau meriwayatkannya.
Tidak
mengherankan jika salah satu poin perdebatan yang seru dalam studi tafsir
adalah masalah autentisitas ini. Beberapa sarjana mencoba mengajukan kriteria
yang menurut mereka bisa dijadikan sebagai landasan untuk menyaring
riwayat-riwayat yang benar-benar historis dari yang sekedar sastrawi. Tulisan
ini adalah penjelasan sederhana mengenai tema ini, dengan mengambil studi kasus
pada upaya Andreas Goerke memastikan autentistas riwayat-riayawat Abū
Mijlaz
1.1. Siapa Abū Mijlaz?
Nama lengkapnya adalah Lāḥiq b. Ḥumayd b.
Saʿīd (atau Shuʿba) b. Khālid b. Kathīr (atau Bishr) b. Ḥubaysh b. ʿAbd Allāh
b. Sadūs, tetapi dia lebih dikenal dengan kunyahnya, Abū Mijlaz. Dia dianggap
sebagai salah satu dari Para Penerus (tābiʿūn) dan telah mendengar ajaran dari
beberapa Sahabat Nabi. Abū Mijlaz berasal dari Basrah dan kemudian pindah ke
Khurāsān, di mana dia menetap di Marw. Dia dikatakan telah tiba di Khurāsān
sekitar tahun 86 Hijriyah (704-5 M) dan meninggal pada 106H /724M,
Meskipun Abū Mijlaz dihormati sebagai seorang
fakih, namun dalam sumber-sumber biografi atau sejarah, dia tidak dianggap
sebagai otoritas dalam eksegesis. Aktivitas eksegesisnya atau minatnya dalam
biografi Nabi tidak terdokumentasikan. Dia juga tidak disebutkan dalam beberapa
karya penting seperti Fihrist Ibn al-Nadīm atau dalam Ṭabaqāt al-mufassirīn
karya al-Suyūṭī dan al-Dāwūdī. Kehadirannya yang minim dalam karya-karya yang
fokus pada buku-buku tertulis dan kompilasi dapat dijelaskan karena kemungkinan
Abū Mijlaz tidak menulis buku-buku tafsir.
1.2. Mengapa Abū Mijlaz?
Mengapa Abū Mijlaz? Pertama, karena dia adalah seorang tokoh minor. Oleh karena itu, kecil kemungkinan generasi belakangan akan mengklaim opini mereka sebagai riwayat Abū Mijlaz sebab tokoh ini tidak memiliki ‘kesaktian’ sepertri tokoh mayor semisal al-Kalbī , ad- Ḍaḥḥāk, dan tentu saja Ibnū ʿAbbās. Kedua, terkait dengan aspek oralitas yang dominan pada riwayat tafsir Abū Mijlaz. Ia diriwyatkan memiliki penafsiran pada ayat-ayat tertentu, tapi tidak ada riwayat bahwa ia pernah memproduksi kitab tafsir yang utuh.
Jelas
bahwa Görke membatasi analisisnya pada tasir sebagai aktivitas, dan bukan
tafsir sebagai literatur. Alasan pembatasan itu ada tiga. Pertama, aktivitas
kepenulisan dalam makna yang kita pahami sekarang baru benar-benar muncul pada
pertengahan abad kedua Hijriyah. Jadi upaya melacak historitas tafsir sebelum
masa ini perlu benar-benar fokus pada tradisi oral. Kedua, kemungkinan
perubahan pada riwayat tafsir yang ditransmisikan bukan sebagai sebuah karya
utuh sangat kecil. Sebab para periwayatnya tidak akan merasa perlu untuk
mengedit bagian-bagian yang dianggap kontradiktif di dalamnya. Maka kecil
kemungkinan ada harmonisasi atau interpolasi. Ketiga, ya karena sejak dulu
sampai sekarang, tafsir memang memiliki aspek oral yang sangat
kuat.
2.
Kriteria Autentisitas Riwayat Tafsir
Kriteria autentisitas bisa bersifat eksternal dapat pula internal. Bukti eskternal paling penting adalah manuskrip tafsir yang berasal dari masa hidup sang tokoh penulis/penyampai riayawat tafsir. Namun sampai saat ini, tidak ada manuskrip tafsir yang berasal dari dua abad pertama Hijriyah. Manuskrip tertua saat ini adalah manuskrip tafsir yang ditemukan di Masjid Kairawan, Tunisia – diperkirakan dari abad ketiga Hijriyah. Dengan absennya butki material, maka peneliti tafsir harus fokus pada bukti tekstual atau bukti internal riwayat-riwawat itu. Dari analisis tekstual inilah beberapa kriteria dirumuskan. Semacam kriteria kesahihan matan.
Andrew Rippin, dalam risetnya pada riwayat-riwayat tafsir Ibnu Abbas, merumuskan beberapa kriteria internal. Bagi Rippin, riwayat tafsir yang terindikasi anakronistik patut dianggap palsu. Cirinya adalah ketika sebuah riwayat tafsir, langsung ataupun tidak, membicarakan sesuatu yang bisa dipastikan muncul jauh setelah masa hidup si mufasir. Sesuatu itu bisa berupa posisi doktrinal maupun kejadian sejarah. Selain itu, Rippin juga menaruh kecurigaan pada tambahah-tambahna generasi belakangan pada suatu karya tafsir.
Kriteria
Rippin ini, menurut Gorke, mungkin berguna untuk menguji kesahihan tafsir yang
diriwayatkan sebagai karya tunggal, tapi tidak pas untuk kasus seperti Abū
Mijlaz. Oleh karena itu, Gorke mengembangkan kriterianya sendiri, tapi ia tetap
menggunakan beberapa aspek dari kriteria Rippin. Kriteria Gorke bergantung pada
apakah suatu riwayat tafsir itu 1) disebutkan di dalam karya atau otoritas pada
periode awal; 2) unik dan original, dan 4) mengandung pertentangan dengan
pendapat belakangan. Kriteria ini lalu diterapkannya pada riwaya-riwayat tafsri
dan qira’at dari Abū Mijlaz.
2.1. Disebut di dalam sumber-sumber pada
masa awal
Meskipun hanya seorang tokoh minor –
setidaknya menurut penilaian Gorke – jejak Abū Mijlaz tetap terlihat dalam
tradisi tafsir awal. Riwayat darinya dikutip oleh Sufyān al-Thawrī (w.
161/778), Yaḥyā b. Sallām (w. 200/815), ʿAbd al-Razzāq (w. 211/827), Saʿīd b.
Manṣūr (w. 227/842), ʿAbd b. Ḥumayd (w. 249/863), al-Ṭabarī (w. 310/923), Ibn
al-Mundhir (318/930), Ibn Abī Ḥātim (w. 327/938), dan al-Samarqandī (w. skt.
373/983).
Riwayat-riwayatnya juga juga muncul dalam
karya-karya khusus seperti Faḍāʾil al-Qurʾān dan al-Nāsikh wa-’l-mansūkh karya
Abū ʿUbayd (w. 224/838), serta dalam koleksi hadis seperti karya Muṣannaf ʿAbd
al-Razzāq dan Ibn Abī Shayba (w. 235/848), dan Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (w.
256/870). Penyebutan yang cukup ‘random’ dan independen (tidak saling terkait)
satu sama lain ini menunjukan bahwa riwayat-riwayat tafsir Abū Mijlaz memang
sudah ada dan tersebar sejak abad kedua Hijriyah
2.2. Anakronisme dan Jejak ‘Pengeditan’
Seperti disebutkan sebelumnya, anakronisme
adalah ketika suatu riwayat diklaim berasal dari abad kedua Hijriyah, tapi
kontennya justru secara laungsung ataupun tidak menyinggung kejadian/doktrin
yang muncul belakangan. Jika sebuah riwayat tampak anakronistik, maka
autentisitasnya layak dipertanyakan. Hal ini tidak ditemukan dalam
riwayat-riwayat tafsrir dari Abū Mijlaz. Apalagi, riwayat-riwayat tafsir
darinya memang singkat dan berbicara tentang hal-hal umum saja.
Riwawat-riwayat tafsir dari Abū Mijlaz juga
relatif bebas dari campur tangan ‘editor’. Dengan kata lain, riwayat-riwayat
tersebut relatif utuh tanpa mengalami manipulasi sepanjang proses
periwayatannya. Hal ini wajar sebab jika riwayat tafsir Abū Mijlaz memang sudah
ada sejak abad kedua Hijriyah, artinya riwayat-riwayat itu telah melalui porses
transmisi lisan selama setidaknya dua generasi sebelum dikodifikasi di dalam
buku-buku tafsir belakangan. Perubahan yang terjadi – jikapun ada – kemungkinan
hanya berupa perubahan susunan kalimat, bukannya penambahan atau
pengurangan.
2.3. Konsistensi
Para sejarawan tafsir sangat peka terhadap dugaan inkonsistensi dalam sebuah korpus tafsir. Jika ditemukan adanya penafsiran yang sama sekali bertolak belakang dari satu tokoh, maka atribusinya ke tokoh tersebut menjadi sulit diterima. Logikanya sederhana; tidak mungkin satu tokoh membuat statemen yang sama sekali bertentangan dalam satu karya. Menurut analisis Gorke, riwayat-riwayat Abū Mijlaz cukup konsisten. Meskipun riwayat-riwayat tersebut direkam dalam tafsir yang berbeda, mereka tetap konsisten.
Salah satu contohnya adalah tafsir Abū Mijlaz
atas kalimat wa-lākin lā tuwāʿidūhunna sirran pada Q. 2:235. Menurut Abū
Mijlaz, kalimat ini merujuk kepada zina. Kutipan pendapatnya ini ditemukan di
dalam tafsir al-Ṭabārī, tafsir Sufyān at-Ṯauri, Saʿīd bin Manṣūr dan Ibn
Abī Hātim. Kesemuanya konsisten. Artinya di dalam setiap tafsir tersebut,
Abū Mijlaz selau dilaporkan memiliki penafsiran yang sama. Oleh karena itu, ia
memenuhi standar konsistensi.
2. 4. Orisinalitas dan keunikan
Orisinalitas disini maksudnya adalah apakah
suatu penafsiran itu adalah sebuah pendapat yang unik dan hanya disandarkan
kepada tokoh tertentu saja. Dalam kasus Abū Mijlaz, contoh riwayat tafsir
beliau yang cukup orisinil dan unik adalah tafsirannya pada QS. 7:46.
Menurutnya kata rijālun pada kalimat wa ʿalā al-aʿrāfi rijālun
yaʿrifūna merujuk kepada malaikat.
Penafsiran unik Abū Mijlaz yang lain adalah
pendapatnya bahwa yang dimaksud dengan ḫuṭuwāt al-šayṭān adalah
melakukan nazar untuk melakukan kemaksiatan pada Allah (al-nuḏūr fī
al-maʿāṣī). Jika mengingat apa kata-kata si Iblis ketika didepak dari
surga, kita akan paham mengapa menurut Abū Mijlaz, bernazar untuk membangkang
kepada Allah adalah langkah dan tingkah polah iblis.
2. 5. Pertentangan dengan pendapat
belakangan
Suatu riwayat yang bertentangan dengan sebuah pendapat belakangan kemungkinan besar berasal dari masa yang leibh awal. Logikanya, seorang ulama tentu hanya akan mendebat pernyataan yang telah lebih dahulu ada. Tidak mungkin seorang ulama yang serius akan membuat-buat sebuah riwayat palsu hanya untuk kemudian ditolak. Apalagi ulama yang secara teliti menyertakan sanad dari riwayat yang dikutipnya, seperti al-Ṭabārī.
Contohnya
adalah tafsiran Abū Mijlaz pada QS. 7:46 di atas. Di dalam tafsirnya, al-Ṭabārī
secara tegas menolak pendapat yang menyatakan bahwa rijāl di dalam ayat
ini merujuk kepada malaikat. Ini adalah posisi unik Abū Mijlaz, dan al-Ṭabārī
pun secara eksplisit menyandarkan pendapat tersebut kepada Abū Mijlaz. Meskipun
memang roastingan al-Ṭabārī lumayan mantap juga, “qālahu Abū Mijlaz min
annahum malāʾika qawl lā maʿnā lahu.”
3.
Bagaimana dengan Qirāʾāt Abū Mijlaz
Menurut penelusuran Gorke, karya terawal yang mencatat qirāʾāt Abū Mijlaz — dan satu-satunya yang memberikan isnād — adalah Faḍāʾil al-Qurʾān karya Abū ʿUbayd (w. 224/838). Pada Q. 18:79, dalam qirāʾāt Abū Mijlaz, menambahkan kata ṣāliḥatin setelah kata safīnatin. Qirāʾāt ini juga diriwayatkan dari sahabat Ubayy b, Kaʿab. Gorke menyatakan bahwa qirāʾāt Abū Mijlaz tidak ditemukan dalam tafsir-tafsir awal. Namun sebenarnya, penambahan ṣāliḥatin ini juga terekam dalam tafsir Muqātil ibn Sulaymān (w. 105), hanya saja tidak disandarkan kepada Abū Mijlaz.
Di dalam karya sarjana generasi berikutnya, qirāʾāt yang disandarkan kepada Abū Mijlaz terekam di dalam karya-karya šawāḏ. Riwayatnya ditemukan di dalam Kitāb al-Muḥtasab karya Ibn Jinnī (w. 392/1002) dan Mukhtaṣar fī shawādhdh al-Qurʾān karya Ibn Khālawayh (w. 370/980). Seperti diketahui, kedua kitab tersebut banyak mengambil sumber dari Kitāb al-Shawādhdh karya Ibn Mujāhid (w. 324/936).
Fakta bahwa beberapa qirāʾāt “agak laen” itu disandarkan secara spesifik kepada Abū Mijlaz dan tidak kepada yang lainnya, menunjukan bahwa ada unsur ‘originalitas’. Namun tentu perlu juga dicatat bahwa beberapa qirāʾāt yang dikaitkan kepadanya sebenarnya juga dikaitkan ke otoritas lain, bahkan kepada otoritas yang lebih awal seperti sahabat. Jadi, tidak seoriginal tafsirnya. Kemudian fakta bahwa qirāʾāt-nya direkam di dalam kitab-kitab shawādh, bisa dianggap sebagai tanda bahwa qirāʾāt ‘bertentangan dengan pendapat belakangan’.
4.
Kesimpulan dan catatan
Intinya, dengan kriteria internal yang dikembangkannya, Gorke bisa dengan percaya diri menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat tafsir dan qirāʾāt Abū Mijlaz bisa diterima sebagai data historis. Meskipun kesahihan riwayat tafsirnya lebih kuat disbanding riwayat qiraatnya.
Terlepas dari analisisnya yang keren, saya tetap punya satu catatan ringan untuk artikel ini. Utamanya soal asumsi metodologis Gorke bahwa Abū Mijlaz adalah seorang tokoh minor. Alasan Gorke bahwa Abū Mijlaz adalah seorang tokoh minor sebab ia tidak tercatat dalam sejarah tafsir (tabaqat al-mufassirin) perlu dicermati konteksnya. Untuk itu pendekatan yang digunakan Walid Saleh untuk mendekonstruksi historiografi tafsir moderen mungkin berguna.
Sebagai perbandingan, Ibn Kaṯīr yang nyatanya minor pada masa pra-moderen menjadi tampak populer di dalam historiografi ber-salafi outlook ini. Hal serupa tidak mustahil terjadi juga dalam historiografi tafsir pra-moderen. Mungkin motifnya saja yang berbeda. Motif tersebut tidak selamanya harus bersifat politis atau doktrinal.
Tampaknya absennya Abū Mijlaz di dalam historiografi tafsir yang dirujuk Gorke terkait dengan disparitas regional. Buktinya, ia disebutkan di dalam karya sejarawan tafsir dari Naisabur, Ibn Bistām, sebagai salah satu tokoh yang “mencapai derajat tertinggi dalam tafsir” setelah periode Ibn ʿ Abbās. Jika kita menerima tesis Walid Saleh bahwa tafsir sebagai sebuah disiplin mendapatkan bentuk klasiknya di tangan para mufasir mazhab Naisabur, maka pengakuan seorang sejarawan dari kota ini tidak bisa dipandang sebelah mata.
Referensi dan bacaan lebih lanjut
Artikel ini adalah ringkasan dari:
Görke, A. (2021). Criteria for dating early Tafsir traditions: The
exegetical traditions and variant readings of Abū Mijlaz Lāḥiq B. Humayd. Jerusalem
Studies in Arabic and Islam, 49, 275-338.
Bacaan terkait
Gilliot,
Claude, “Traditional Disciplines of Qurʾānic Studies”, in: Encyclopaedia of the Qurʾān, General Editor: Johanna Pink, University of
Freiburg. Consulted online on 23 February 2024 <http://dx.doi.org/10.1163/1875-3922_q3_EQCOM_00207>
Saleh,
Walid, Nishapuri School of Quranic Exegesis –
Encyclopaedia Iranica (iranicaonline.org)
Komentar
Posting Komentar