Perangai dan Balasan orang Munafik: Terjemah Tafsīr Muqātil ibn Sulaymān: Q.2:6 -10
6. Sesungguhnya orang-orang yang kufur itu sama saja bagi mereka, apakah engkau beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman (yakni mereka tidak akan membenarkan kenabian Nabi Muhammad dan kebenaran risalah yang dia sampaikan)
7. Allah telah
mengunci hati merek (yakni Allah menetapkan hati mereka tertutup rapat sehingga
akal mereka tidak bisa memahami hidayah) dan pendengaran mereka (begitu juga
Allah menetapkan telinga mereka tertutup sehingga mereka tidak bisa
mendengarkan hidayah) dan pada penglihatan mereka ada penutup (yakni selubung penutup
sehingga mereka tidak bisa melihat kebenaran hidayah) dan bagi mereka azab yang
sangat berat (yakni azab yang banyak dan terus-menerus, tidak memiliki akhir)
Dua ayat ini
diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik di kalangan Arab ketika itu. Di
antara mereka adalah Syaybah, ʿUtbah ibnu
Rabiʿah, al-Walīd ibn al-Mughīrah, Abū Jahl ibn Hishām yang Bernama asli ʿAmr, ʿAbdullāh
ibn Abī Umayyah, Umayyah ibn Khalf, ʿAmr ibn Wahb, al-ʿĀṣ ibn Wāʾil, al-Ḥārits
ibn ʿAmr, an-Naḍr ibn al-Ḥārits, ʿAdī ibn Muṭʿim ibn ʿAdī, ʿĀmir ibn Khālid, dan
Abū al-Baḥtarī ibn Hishām.
Allah lalu menyampaikan
tentang orang-orang Munafik. Dia pun berfirman;
8.Di antara
manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir,” (yakni
mereka berkata, “kami membenarkan bahwa Allah itu Esa tidak ada sekutu bagi-Nya,
dan kami membenarkan akan adanya hari kebangkitan dimana setiap perbuatan akan
diberikan ganjaran”, Maka Allah pun mengingkari ucapan mereka itu lewat
firman-Nya) padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang mukmin (yakni
orang-orang yang menerima kebenaran tauhid dan hari kebangkitan yang padanya
seluruh amal mendapatkan ganjaran)
9. Mereka menipu Allah (ketika mereka menampakan diri
seolah-olah memiliki iman kepada Muhammad saw sembari menyembunyikan pengingkaran
mereka) dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri
sendiri tanpa mereka sadari.
Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Munafik di
kalangan Yahudi Ahlul Kitab ketika itu, di antara mereka adalah: ʿAbd Allāh ibn Ubay ibn Salūl, Wajd ibn Qays, al-Ḥārits ibn ʿAmr, Mughīts ibn Qushayr, dan Amr
ibn Zayd. Allah pun akan mencampakkan mereka di akhirat sembari berfirman,
sebagaimana disebutkan dalam surah al-Hadīd: “Kembalilah kamu ke belakang dan
carilah untukmu sendiri cahaya[1]” Allah
berfirman kepada mereka sebagai bentuk hinaan sebab mereka telah menghina
orang-orang Mukmin di dunia dengan ucapan mereka “kami telah beriman” padahal
mereka tidak beriman. Hal ini juga digambarkan dalam firman-Nya di ‘azza wa
jalla, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi
Allah membalas tipuan mereka”[2] Penghinaan
itu juga terjadi ketika mereka melewati titian ṣirāṭ kemudian dikatakan kepada mereka, “Kembalilah
kamu ke belakang dan carilah untukmu sendiri cahaya”
10. Dalam hati mereka ada
penyakit (yakni keraguan kepada Allah dan kepada Nabi Muhammad saw. naẓīr [3]ayat
ini ada di surah Muḥammad: “Apakah orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit –
maraḍ- mengira..” maksud penyakit di kedua ayat ini adalah keraguan) lalu
Allah menambah penyakit mereka itu (yakni menambahkan keraguan di dalam hati
mereka itu) dan mereka mendapat azab yang sangat pedih (yakni azab yang menyakitkan
di akhirat) karena mereka selalu berdusta.(karena perkataan dusta mereka “kami
beriman kepada Allah dan Hari Akhir”.
Hal itu karena ʿAbd Allāh ibn Ubay si munafik berkata kepada para
mitra sekongkolnya, “Perhatikan baik-baik apa yang akan saya lakukan! Pelajari
caraku berintraksi dan menjauhkan orang-orang itu[4]
dari diriku dan dari kalian.” Kawan-kawannya itu pun berkata, “Engkau adalah
tuan kami. Jika bukan karena jasamu, kami tidak akan bisa tahan berbaur bersama
mereka”
ʿAbd Allāh ibn Ubay pun mendekati Abū Bakr al-Ṣiddīq, lalu
seraya memegangi tangan beliau, Ubay berkata, “Senang bertemu anda wahai pembesar
Banī Tamīm ibn Murrah, orang kedua dari dua manusia mulia, yang menyertainya[5] di
dalam gua, manusia terkasih di antara umatnya, manusia yang telah mengorbankan
harta dan jiwanya.”
Setelah itu, Ibnu Ubay kemudian mendekati ‘Umar ibn Khattāb dan seraya memegangi tangan
beliau, Ibnu Ubay berkata, “Senang bertemu anda wahai pembesar Banī ‘Adī bin Ka’ab,
yang perkasa dalam menjalankan perintah-perintah Allah, yang telah mengorbankan
diri dan hartanya”
Kemudian ia juga mendekati ‘Ālī bin Abī Ṭālib, memegang tangannya, dan berkata, “Senang
bertemu anda wahai pemuka Banī Hāsyim, setelah lelaki yang dikhususkan Allah
dengan Nubuwwah, dan Allah mengetahui ketulusan niat dan keyakinannya”
Mendengar itu, ‘Umar ibn Khattāb RA pun
berkata, “Celakalah engkau hai Ibnu Ubay. Bertakwalah kepada Allah dan jangan
bersifat munafik. Tebarkanlah kebaikan (aṣilh) dan jangan berbuat
kerusakan (al-fasād). Sungguh orang munafik itu adalah makhluk Allah
yang paling buruk, paling hina dina, dan paling banyak tipuannya”
Ibnu Ubay lalu menjawab, “Santai saja
Umar! Sungguh demi Allah saya telah beriman sebagaimana kalian juga beriman,
saya sudah mengucapkan syahadat sebagaimana syahadat kalian!”
Setelah mengucapkan hal itu, kedua
kelompok tersebut berpisah. Abū Bakar, ‘Umar, dan Ālī, semoga rahmat Allah
senantiasa melimpahi mereka, kemudian bergegas menemui Rasulullah saw. Mereka
pun menceritakan ucapan-ucapan ‘Abd Allāh bin Ubay, maka Allah pun menurunkan
ayat ini kepada Nabi-Nya, “Di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada
Allah dan hari Akhir,” padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang
mukmin.”[6]
[1] [al-Hadīd:13] Di dalam al-Asybah
wa an-Naẓāir Muqātil menyebutkan bahwa di antara makna “an-nūr” (cahaya) adalah agama
Islam, keimanan, dan hidayah Allah yang disampaikan oleh Nabi-Nya. Sehingga di
sini ketika mereka secara sarkastik diperintahkan untuk mencari sendiri ‘cahaya’,
itu berarti mereka dicampakkan dan dijauhkan dari pertolongan sebab tentu
mereka tidak mungkin menemukan hidayah Islam dan Iman kecuali melalui nabi-nabi
Allah, utamanya Nabi Muhammad saw. Tentu
tidak semua an-nūr dimaknai demikian, sebab kata ini berulang disebutkan
oleh al-Qur’ān dengan wujūh beragam. Tergantung konteks.
[2] [an-Nisā’:142] Ayat ini juga
berkolerasi dengan ayat yang sedang ditafsirkan, al-Baqarah: 9, sebab sama-sama
mengandung frasa yang persis yakni “yukhādiʿūn Allāha”.
[3] naẓīr
adalah salah satu istilah teknis Muātil dalam
karya-karyanya. Bisa dimaknai homonym atau sinonim. Ia menggunakannya ketika
sebuah kata digunakan dengan makna serupa di dalam al-Qur’ān. Sebab tidak semua
kata yang berulang memiliki makna serupa, tergantung konteksnya. Keragaman
makna yang muncul sesuai konteks ini disebut wujūh oleh Muqātil. Ingat
ya anak-anak, bagi Mbah Muqātil fenomena ini adalah keragaaman makna sesuai
konteks, bukan kenihilan makna berujung interpretasi kontradiktif.
[4] maksudnya Nabi Muhammad saw dan
sahabat-sahabatnya.
[5] tsaniyu-tsnaini ṣāhibuhu fi-lghāri
merujuk ke fakta bawa Abū Bakrlah yang menemani Rasulullah saw di dalam gua
Tsur ketika hijrah.
[6] Al-Baqarah:8.
Komentar
Posting Komentar