Buya Hamka Tentang Surah Asy-Syu'ara dan Pemusik
Ayub
Sebenarnya
sangat bisa dimaklumi jika ada yang mengernyitkan dahi mendengar dai
mengartikan ''syu'ara" sebagai pemusik. Apalagi jika mereka yang
mengahramkan musik. Mereka yang tidak begitu anti musik pun juga bisa ikut
terusik. Ini masalah nama surah, tidak boleh sekenanya, tidak elok jika seenaknya.
Namun jika ada husnuzan yang disisakan untuk saudara sesama Muslim, apalagi dai
yang dikenal getol melayani al-Qur'an, tentu bolehlah ditanyakan; kira-kira
maksudnya bagimana? Apakah dia hendak mengubah nama surah?
Jika melihat
penjelasan para pembela Ustadz Adi, tampak bahwa beliau tidak sedang
mengusulkan penggantian nama surah. Beliau sedang mencoba
mengkontekstualisasikan makna syu'ara ke masa kini. Beliau lalu memasukan para
pemusik di dalamnya.[1]
Saya pikir, ini sebenarnya angin segar bagi mereka yang mengharamkan musik.
Artinya kalimat "وَٱلشُّعَرَآءُ يَتَّبِعُهُمُ ٱلْغَاوُۥنَ ٢٢٤"
mengalami perluasan signifikansi, jadi makin jelas bahwa memang musik bisa
membawa pada kesesatan!
Meskipun memang akan bermaslah juga, sebab ayat 224 di atas selanjutnya
dikecualikan pada ayat-ayat berikutnya. Artinya, ada syair yang mulia dan
halal. Jika syair disamakan secara mutlak dengan music, maka jadinya ada juga
music yang halal dan bahkan mungkin dianjurkan. Dari perspektif mereka yang
mengharamkan musik, ini berabe sekali. Tapi dari perspektif yang menilai bahwa
hukum musik itu tergantung jenisnya, maka ini posisi yang sangat natural.
Dengan kata lain, memasukan musik di dalam cakupan makna syair yang disebutkan
ayat 224 itu adalah posisi normal bagi mereka yang meyakini bahwa seperti juga
syair, ada jenis musik yang halal.
Jika memang Ust
Adi Hidayat hendak menerjemahkan syu’ara sebagai pemusik, maka ini
memang posisi yang sulit dipertahankan. Ada alasan mengapa sya’ir diserap
menjadi “syair” dan music/musiq diindonesiakan menjadi “musik”; dalam
penggunaannya yang umum dua hal ini memang beda. Namun posisi itu mungkin lebih
mudah diterima jika maksudnya bahwa kedudukan penyair Arab, utamanya Jahili,
sama dengan kedudukan musisi saat ini dari segi pengaruh estetik mereka.
Artinya, kemampuan seni para musisi modern membuat mereka dalam posisi yang
sama dengan penyair Arab Jahili; sama-sama bisa memberikan pengaruh kuat pada
jiwa, mengiring pada kesesatan – atau kebaikan.
Jika beliau
hanya hendak memasukan pemusik dalam cakupan makna syu’ara dalam konteks
ayat ini, seperti dijelaskan di atas, sebenarnya beliau bukan orang yang
pertama melakukannya. Setidaknya di Indonesia modern. Buya Hamka sudah lebih
dahulu di dalam Tafsir Al-Azhar. Sebagai seorang ulama sastrawan, beliau
membuat bahasan tersendiri tentang syair dan seni secara umum ketika
menafsirkan surah Asy-Syu’ara. Pada uraiannya tersebut, Buya secara eksplisit
mengaitkan syu’ara dan musik melalu dua jalan.
Pertama dengan
menarik paralel antara penyair dan musisi dari segi pengertian dasarnya. Ini
mungkin argumen Buya yang paling mendekati alur pikir UAH. Beliau menjelaskan;
Asy-Syu'ara adalah nama dari Surat yang
tengah kita tafsirkan ini. Arti kalimat ini ialah penyair-penyair, atau para
penyair. Dia adalah kalimat menunjukkan banyak (jama'), mufrad atau
kalau satu orang penyair diucapkan sya-ir. Diambil dari kalimat syu'ur,
yang berarti perasaan halus. Syair atau Penyair ialah orang yang sangup
mengungkapkan perasaan halusnya terhadap suatu hal, disusunnya menjadi
kata-kata. Kalau dia tersusun bersajak berirama, dinamai dalam bahasa Arab: manzhum,
artinya tersusun rapi. Kalau dia tidak tersusun tetapi mengandung perasaan yang
halus juga, dinamai dalam bahasa Arab: mantsur. Kata yang telah disusun
itu, dari yang panjang dan yang pendek (Harakaat dan Sakanaat)
dinamai Syi'ir (Syair). Bolehlah dikatakan secara keterangan moden dalam bahasa
Indonesia bahwasanya Penyair itu adalah seniman. Dan seniman itu terdapat dalam
berbagai cabang: seni lukis, seni pahat, seni suara dan seni sastera.[2]
Penjelasan Hamka
akan makna mendasar dari sya’ir sebagai sesuatu yang terkait dengan
kempaun mengekspresikan perasaan halus melalui kata-kata dengan aturan tertentu
sebenarnya penjelasan yang cukup standar dalam tafsir. Sebagai contoh Imam
al-Wahidi menjelaskan bahwa syair adalah gubahan yang disusun mengikuti
aturan tertentu. Tapi mufasir idola Imam Ghazali itu tidak berhenti di situ,
dijelaskannya pula bahwa alasan para pembuat gubahan itu disebut syā’ir, yang
jamaknya syu’arā` adalah karena mereka mampu menangkap dengan perasaan
hal-hal yang tidak dirasakan oleh orang lain yasy’uru ma lā yasy’uru ghairuh.
Kurang lebih sama dengan penjelasan Hamka di atas.
Namun Hamka
memberikan penekanan yang lebih pada bagian ‘mampu meraskan apa yang orang
lain tidak rasakan’ dari para syu’ara. Pada bagian inilah, Hamka
memperlihatkan kedalaman bacaan, keluasan wawasan, dan ketajaman sintensisnya.
Beliau kemudian membawa bahasan ini pada aspek yang lebih mendalam, yang oleh
para filsuf disebut estetika;
Falsafah Seni menurut ajaran Yunani dan Arab ialah kesanggupan
manusia merasakan keindahan alam yang ada di kelilingnya lalu menyatakan
perasaannya berupa seni. Tuhan menganugerahkan keindahan pada alam sekeliling.
Itulah yang dinamai dalam bahasa Arab dengan Al-Jamal, dan dalam bahasa pusaka
Yunani Aestetika. Dalam diri manusia sendiri ada suatu perasaan halus
('athifah) buat menangkap dan merasakan keindahan alam itu, tetapi tidak semua
manusia sanggup menyatakan kembali kepada orang lain, apa kesan dalam dirinya
setelah merenungkan keindahan yang ada di alam itu. .... Semua orang dapat
merasakan keindahan itu, tetapi tidak semua orang dapat menyatakin kembali
kesan yang lekat dalam jiwanya melihat dan mendengar-yang indah. Yang sanggup
menyatakannya kembali itulah yang dikatakan Seniman.
Tak lupa
disertakannya pantun Melayu tentang jiwa orang-orang non-seniman setelah
menangkap manifestasi al-jamal di alam ini, tapi tak sanggup
berkata-kata;
Anak landak di lesung Cina,
Memakan tulang dalam Perahu;
Hati berkehendak bagaikan gila,
Tetapi menyebut tidak tahu
Tampakanya,
perdebatan tentang apakah boleh syu’ara disamakan dengan musisi banyak
berputar di sekitar teknikalitas dan definisi. Baik yang pro maupun yang kontra
mengeluarkan perbendaharaan ilmu mereka tentang segala detail bab arudh dan
aplikasinya dalam menggubah syair. Jarang sekali saya melihat ada yang
mengaitkan ke aspek yang lebih mendasar tadi. Aspek yang membuat sebuah syair
begitu berefek, bahkan ketika pendengarnya tidak paham apa-apa soal bahr.
Padahal aspek inilah yang menjadi benang merah kaitan syuara dan
musisi.
Aspek estetika
inilah pemersatu antara syuara dan musisi. Itulah alasan mengapa Hamka
menyatukan mereka dalam paying besar ‘seniman’. Aspek inilah yang membuat orang
Arab di masa Jahili rela menggantungkan syair di Ka’bah dan jutaan pemuda-pemudi
kiwari rela menguras dompet untuk dibuat mewek-mewek oleh Coldplay, atau yang
membuat para pengagum mbah Marx rela direpresi sembari menyanyikan
internationale. Aspek inilah yang membuat Boomer dan millennial senior takut
sama sayur genjer dan begitu hafal Garuda Pancasila. Apek inilah yang membuat
genZ nangis kejer pas dengar “sampaikan paaaada jiwa yang bersediih” dan
bapak-bapak dua anak mberbes mili mendengarkan “Lewaaat radioooo, akuuu
sampaikaaan” Padahal pengarang lagu-lagu itu tidak tahu apa-apa soal arudh!
Jadi, apakah syu’ara
bisa diterjemahkan menjadi musisi? Jika melihat uraian Hamka,
mungkin jawaban beliau tidak akan hitam putih. Beliau cenderung memperluas
makna syu’ara mencakup ragam seni, termasuk musik dan nyanyian (beliau
sebut seni suara). Namun beliau tetap menerjemahkan syu’ara sebagai
sastrawan. Tapi inti yang beliau tarik di sini adalah besarnya peran para
seniman itu. Jelas syu’ara memiliki
peran dan kuasa yang besar dalam masyarakat manusia, tidak heran al-Qur`an
menyebut mereka secara khusus.
Namun peran dan
kuasa itu, untuk konteks dunia saat ini, tampaknya mayoritas di tangan para
musisi. Kekuatan untuk menggembala umat manusia melalui sihir estetika. Jika
mereka menggunakan kekautan itu tanpa pegangan yang luhur (tauhid), maka terjadilah
apa yang disebut pada ayat 224 itu. Kemampuan inilah yang membuat para
pendakwah yang mengambil pendapat bolehnya music jenis tertentu mendukung
musisi untuk menggubah lagu ‘Islami’.
Hamka bahkan
membawa bahasan ini lebih jauh, beliau menutup penjelasannya dengan mengaitkan
kekautan ‘menggiring massa’ ala penyair dengan media dan teknologi di masanya.
Ah, andai engkau masih di sisi kami, Buya, apa gerangan yang akan Buya
sampaikan pada mereka yang perasaannya habis digoreng algoritma.
[1] Contoh yang
bagus sebab menyertakan kutipan relevan dari UAH adalah status Ustadz Sam
Waskito berikut: (5)
Sam Waskito - ✳ "Adakah ulama ahli Tafsir yang pernah
mengatakan,... | Facebook.
[2] Tafsir al-Azhar,
Juzu’ 19 hal. 5185. Versi cetakan Singapura.
Komentar
Posting Komentar