Hikayat Ustadz Anti-TBC dan Godaan Pohon Keramat
Al-Hasan al-Basri (d. 110 H), seorang
tabi’in agung dan salah satu prototipe ideal ulama sunni, mewariskan sebuah
kisah yang menjadi pengingat penting bagi ulama umat ini. Para ulama yang
menulis tentang ketergelinciran agamawan kerap mengutipnya. Dimulai dari Ibnu
Abiddunya (w. 281H) dalam Makaidus Syaithan dan kian populer lewat Talbisu
Iblis Ibnul Jauzi (w.597H). Begitu
pentingnya, kisah ini pernah diangkat oleh Dedi Mizwar al-Indunisi (w. ???) dalam
sinetron Lorong Waktu.
Sebagai bentuk tabarruk pada
ulama-ulama dan sineas tersebut, saya pun hendak mengutipnya dengan penyesuaian
vibe seperlunya. Begini ceritanya…
Konon, ada seorang ahli ibadah
yang gusar melihat kaumnya masih merendahkan diri, masih berharap kepada selain
Allah. Mereka masih percaya akan tuah sebuah pohon tua. Jika di
Indonesia, si ‘abid ini mungkin sudah dipanggil ustadz. Dan dia
memang ustadz. Dia seorang berilmu yang geram melihat kejahiliyahan. Apalagi
kejahiliyahan yang menodai tauhid: takhayyul, bid’ah, dan churafat. Biasa disingkat
TBC.
Maka didorong semangat dakwah untuk
menumpas TBC, mempurifikasi akidah dan mendinamisasi muamalah, sang ustadz pun berangkat
ke tempat pohon bertuah itu. Di tangannya tergenggam kapak, di dadanya menyala
semangat jihad. Pohon itu akan ia tebang.
Namun belum sampai si Ustadz anti-TBC
di tempat kejadian perkara, muncullah Iblis untuk menghalanginya. Si iblis menjelma
menjadi seorang tua yang tampak bijaksana. Ia menyapa Ustadz Anti TBC, menanyakan
tujuannya. Setelah sang ustadz menjawab bahwa ia hendak menebang sebuah pohon yang
menjadi pusat kegaitan TBC kaumnya, si Iblis menasehati,
"Ustadz, mengapa anda harus mengurusi
pohon itu? Demi menangani perkara kecil ini, anda jadi meninggalkan dzikir sore
yang biasanya rutin dan dawam anda lakukan. Lagipula, jika anda menebang pohon
itu, mereka akan menyembah pohon lainnya"
Meski terdengar peduli pada
kelangsungan ibadahnya, si Ustadz anti TBC bisa mendeteksi talbis dalam ucapan
tersebut.
“Tidak seperti itu pak tua!” Sanggah
sang Ustadz. “Aku tidak mungkin hanya saleh secara individual tapi mengabaikan
problem sosial di sekitar saya. Itu
tidak berkemajuan namanya. Jika mereka menyembah pohon lain, saya akan tebang
lagi! Dakwah memang butuh kegigihan”
Iblis geram juga melihat sikap si ustadz.
Tapi bukan Iblis namanya jika tidak tekun tak kenal putus asa. Kali ini ia
berinisiatif menempuh jalan yang lebih konfrontatif.
“Saya tidak akan membiarkan anda
menebang pohon itu! Jika tetap nekad, pak ustadz harus bertarung dengan saya!”
Seketika itu pula Iblis maju
menerjang pak Ustadz anti TBC. Namun ternyata bukan hanya lihai bermain kata,
si ustadz juga ahli bela diri. Tinju iblis dihempaskan dengan ‘mawar mekar’
yang meliuk cantik tapi tangkas. Setelah itu ia layangkan ‘katak melempar tubuh’,
tepat mengenai ulu hati si Iblis, menjengkalkannya ke tanah. Belum sempat iblis
bereaksi lebih jauh, kaki ustadz sudah berada di lehernya.
“Ampun.. ampun!” hanya itu yang
keluar dari mulutnya.
“Aku harus menebang pohon itu, pak
tua! Maaf”
Iblis kini tahu bahwa is Ustadz ini
tidak akan mempan dikerasin. Ia kembali ke strategi dialog.
“Baiklah pak ustadz.. baiklah. Maaf juga.
Cuma apakah pak ustadz tidak berfikir bahwa sudah ada banyak dai lainnya di
sekitar sini. Mungkin mereka juga akan menebang pohonnya. Kenapa harus pak ustadz
yang menebangnya?” Iblis melobi sembari melepaskan diri dari kuncian pak Ustadz
yang memang mulai melemah.
“Pak tua. Memang ada dai lainnya. Tapi
kan kita harus berlomba-lomba dalam kebaikan. Fastabiqul khairaat. Begitu
motto yang saya pegangi. Saya akan tetap menebangnya”
“al-Jiancuk al-kabir!” Kata iblis
dalam hati. Ia kembali berusaha bergulat dengan pak Ustadz, tapi ternyata pak
Ustadz tetap unggul. Terbukti lagi, kekerasan tidak akan mempan padanya.
“Baik.. baik pak Ustadz” Iblis
memulai lagi negosiasinya. “Anda kan belum tahu bagaimana persisnya penyimpangan
yang terjadi di pohon bertauh itu. Anda tidak tahu mengapa orang-orang
mendatanginya dan apa yang mereka harapkan”
“Bagaimana maksudmu? Jelas mereka
berharap pada selain Allah! Mereka percaya yang tidak-tidak. Ini TBC!”
“Anda memang cerdas pak ustadz. Tapi..
Begini saja pak Ustadz. Untuk mengetahuinya sendiri, bagaimana jika berikan
pohon itu kesempatan satu malam saja. Setelah itu, silakan anda tebang. Coba nanti
cek di bawah bantal pak ustadz. Ya menurut kepercayaan setempat sih, nanti akan
muncul uang di situ”
Tiba-tiba Ustadz anti TBC menginjakkan
kakinya di leher iblis dengan kuat, ia murka “Kamu mau menyogokku hah?”
“Tentu tidak. Tentu tidak! Ya ini
untuk melihat saja, bagaimana sebenarnya hakikatnya. Apakah benar-benar ada
uang. Lagipula, uang itu kan nanti bisa pak ustadz infakkan di jalan Allah.
Membantu warga di sini, mengembangkan dakwah, buka TK ABA atau mungkin musollah indah, agar nanti warga rajin salat
dan meninggalkan pohon itu.. ini bukan soal anda pak ustadz. Tapi soal maslahat
ummat dan untuk melihat sebenarnya cara kerja pohon bertuah itu seperti apa...”
Pak Ustadz anti TBC tertegun sejenak.
Ia teringat anak-anak kecil di kampungnya yang saban hari berkeliaran dengan
ingus meleber-leber, mereka butuh pendidikan bermutu. Anak buruh
tak sekolah. Pemuda desa
tak kerja. Mereka
dirampas haknya. Tergusur dan lapar. Andai ia bisa memberikan bantuan material yang lebih
kongkrit. Tentu mereka akan tumbuh jadi generasi baru yang lebih nyantri,
rasional, dan mapan secara ekonomi, mereka tidak akan tergoda mendatangi pohon
keramat. Tanpa ditebang pun, nanti pohon itu akan tersingkir dengan sendirinya.
“Bagaimana pak Ustad? Apalagi ini
sudah sore, anda sebaiknya siap-siap salat magrib. waktu pembuktiannya nanti malam,
anda bisa menebang pohonnya besok sehabis salat subuh!”
“Mungkin anda ada benarnya juga pak
Tua” Ustadz anti TBC mengangkat kakinya dari leher iblis yang di bibirnya
tampak senyum samar nan tipis. “Tapi ingat. Saya memberikan kesempatan satu
malam, bukan karena saya berharap apa-apa dari pohon itu!”
“Tentu-tentu... anda terlalu mulia
untuk mengahrapkan kekayaan dari pohon bertuah!” Kata Iblis sambil cepat-cepat
berlalu.
***
Keesokan harinya, Ustadz anti TBC
berzikir, tadarus, dan menyapa jamaah. Di waktu bersamaan, biasanya istrinya
akan ke pasar berbelanja dan setelahnya menyiapkan sarapan. Sesampainya di rumah,
pak Ustadz anti TBC agak heran melihat suguhan mewah istrinya.
“Nasyiah, ini makmu kok tumben masak
banyak begini?” Tanyanya pada anak gadisnya. Imawan, putranya yang ikut shalat
subuh melongo dari balik punggung ayahnya.
“Wah asyik! Akhirnya sarapan pakai
lauk!”
Teg, Pak Ustadz Anti TBC tiba-tiba tersengat
apa yang baru saja disadarinya. Cepat-cepat ia mendatangi istrinya yang masih tadarus
di kamar.
“Aisyiyah! Kamu dapat uang dari balik
bantal tempat tidur kita?”
“Iya, alhamdulillah...”
“Kok kamu belanjakan nggak
bilang-bilang?”
“Ya abang kan tidak mungkin nyari apalagi
nyimpan uang haram. Terus memangnya miliader mana yang mau menitipkan uangnya
pada ustadz kampung macam kamu, bang?.. jadi ya, pas lihat tadi, uangnya
langsung saya belanjakan seperlunya. Sisanya saya masukan kotak amal dan
berikan ke panitia pembangunan TK”
Pak ustadz anti TBC kehabisan
kata-kata sejenak. Setelah itu, ia berujar,
“Besok, kalau ada uang di balik
bantal kita lagi, jangan diapa-apakan ya”
Ia lalu menceritakan deal yang ia
buat dengan kakek tua di jalan sepi menuju pohon keramat pada istrinya. Istrinya
syok, tapi tetap percaya pada rasionalisasi suaminya
“Tidak apa-apa, bang, kita kawal Bersama
saja... kita lihat nanti”
***
Tidak
dirasa telah beberapa hari Ustadz anti TBC dan istrinya mengumpulkan uang dari
balik bantal mereka. Setiap kali hendak menebang pohon tersebut, selalu saja
ada kebutuhan mendesak dari umat untuk dipenuhi. Ustadz anti TBC juga sudah membeli
Brio bekas, tentu untuk operasional dakwah. Anak istrinya tentu masih tetap
hidup sederhana, tapi setidaknya mulai ada tabungan untuk pendidikan kedua
anaknya, juga tentu saja anak-anak lain di kampung itu.
Lalu
tiba-tiba, pada suatu pagi, Ustadz Anti TBC sontak rusak mood ketika membalik
bantalnya dan ternyata zonk. Tidak ada lagi uang dibalik bantal sang
ustadz. Ia mencoba semalam lagi, tapi sama saja. Tetap nihil. Ia pun muntab,
kembali diambilnya kapak. Pohon itu sudah waktunya musnah.
Di
titik koordinat yang sama dulu, Iblis kembali muncul dalam wujud pak tua. Ia
kembali menghalangi si ustadz. Tapi kini ia tidak pakai diplomasi lagi. Iblis
langsung saja menyerbu pak Ustadz. Tidak seperti pertarungan sebelumnya,
sekarang semua jurus Ustadz anti TBC melempem. Ia bagaikan Conor Mc Gregor di
hadapan Nurmagomedov. Kena smesh bolak-balik, dan keadaanpun berbalik.
Ia terkapar, kaki Iblis di lehernya. Ia menatap kebawah penuh kemenangan
sembari berkata;
“Apa
kau tahu siapa aku? Aku adalah Shaitan! Dulu kau datang dalam keadaan marah
karena Allah, maka aku tidak mampu mengalahkanmu. Aku lalu menipumu dengan uang
dan kaupun meninggalkan pohon itu. Tapi kini kau datang masih marah-marah, tapi
alasannya sudah beda. Maka akupun memiliki kuasa atasmu!”
Kisah
dari al-Hasan al-Basri – setidaknya plot utamanya – hanya sampai di sini. Tapi di
versi ini, saya membayangkan bahwa setelah mengalahkan pak Ustadz, Iblis
menyamar jadi kakek tua dan menemui orang-orang desa. Ia lalu berkhotbah,
“Bagi
yang belum tahu, di pojok desa ada sebuah pohon bertuah. Ia bisa memberi kita
uang di balik bantal. Selama ini pak Ustadz sudah memakainya untuk kepentingan syiar
Islam di kampung kita ini. Tapi mungkin ada sedikit kekeliruan sehingga ia
tidak bisa lagi mendapatkan uang beberapa hari ini. Monggo bagi yang belum ikut,
ayo kita ke pohon itu dan bantu pak Ustadz menambang uang untuk kesejahteraan ummat
dan syiar Islam di kampung kita! Takbir!”
Pak
Ustadz anti TBC yang datang telat ke perkumpulan itu pun tidak bisa lagi berkutik.
***
Agar
tetap sesuai dengan blog ini, maka saya tambahkan sedikit analisis seperlunya. Jadi
gini, saat ini ada pikiran untuk tidak saja melihat tafsir sebagai sebuah genre
tertentu tapi juga sebagai sebuah aktivitas. Ini untuk meluaskan horizon studi
tafsir. Tentu salah satu konsekuensinya adalah banyak karya yang tidak tampak
seperti “tafsir” akan masuk area kajian, sebab mereka tentu adalah ‘penjelasan’
seorang Muslim atas al-Qu’an.
Konsekuensi
lanjutannya, bisa dikatakan bahwa apa yang kita sebut sebagai tafsir tematik,
sebagai praktik sebenarnya bukanlah fenomena modern. Meskipun mungkin sebagai
sebuah sub-genre tafsir, kemunculannya tak lepas dari arus modernitas. Utamanya
apa yang disebut Walid Saleh sebagai scriptural theology dan obsesi pada
koherensi (sekaligus kembali langsung pada al-Qurán) yang digaungkan tokoh
seperti Fazlur Rahman.
Namun
sebagai sebuah aktivitas, tafsir tematik sudah ada sejak dulu. Contohnya ya beberapa
bagian dari Talbis Iblis itu. Dengan mengumpulkan berbagai ayat tentang seluk-beluk
godaan Setan, Ibnul Jauzi bisa menarik kesimpulan bahwa jalan Iblis untuk
menggoda manusia adalah dengan merusak keseimbangan (‘adalah) akalnya
sehingga komponen emosionalnya yang lain seperti ketakutan, kemarahan, harapan,
kepedulian dan lain-lainnya menjadi kacau sehingga lahir keputusan yang zalim. Sebagai
seorang orator dan qusas kawakan, kisah ini kemudian dikutipnya sebagai
sebuah ilustrasi. Jadi ini tetaplah ngaji tafsir
Komentar
Posting Komentar