#KaburAjaDulu: Antara Worldview Jāhilī dan Qurʾāni


Hesteg #kaburajadulu, konon adalah simbol kekecewaan anak-anak muda Indonesia yang merasa hidupnya makin suram jika tak segera kabur ke luar negeri. Ketika tren ini lagi ribut-ributnya di medsos, saya sebenarnya tidak begitu mengikuti. Ada banyak kesibukan, salah satunya sibuk tadarrus puisi Jahiliyah. Tapi saya tiba-tiba teringat tren ini lagi gara-gara mendengar pernyataan seorang politisi kawakan yang dengan nada geregetan berkomentar kurang lebih begini “..paling nanti jadi budak kapitalis-kapitalis di luar negeri sana..” 


Jika begitu, kasian juga anak-anak muda Indonesia itu ya. Lari dari kangkangan oligarki, malah masuk kungkungan kapitalis. Mungkin ada yang menjawab; setidaknya mereka bisa jadi budak dengan gaji kompetitif jika memang punya kapasitas, dari pada cuma bisa menganga ketika kesempatan dan etika kompetensi dihabisi kolusi-nepotisme, sementara sumber daya yang katanya mereka warisi habis dimamah korupsi. Tapi ya, baik perbudakan kapitalistik maupun perakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan oligarkis sama-sama tak sedap. Dua-duanya tidak enak.


Tiba-tiba saja nasib anak-anak muda itu membuat saya teringat pada seorang anak muda lainnya, yang juga #kaburajadulu mencari penghidupan lebih layak, tapi berakhir tragis. Jika anak-anak muda Indonesia mungkin kelak akan abadi dalam file sejarah umat manusia lewat hesteg yang mungkin saja diabadikan arsip internet itu, anak muda yang tiba-tiba saya ingat ini abadi lewat bait-bait ritsa,  yang digubah seorang perempuan Arab dari masa Jahiliyah. 


Ritsa’ adalah genre syair Jahiliyah yang mengungkapkan ratapan. Kebanyakan penggubah syair ratapan adalah perempuan. Mereka mampu mengungkapkan dalamnya luka, sembari menunjukan kebaikan-kebaikan orang yang diratapi. Salah satu ritsa yang cukup populer digubah oleh Sulaikah ibunda Sulaik. Ia menangisi Sulaik yang mengalami nasib tragis ketika sedang.. 

طافَ يَبغي نجوةً . من هلاكٍ فَهَلَك

Berkelana ia mencari selamat.  Dari binasa - oleh binasa ia dilumat


Thāfa, berasal dari kata yang sama dengan thawaf, ibadah mengelilingi Ka’bah.  Jadi si anak muda ini berkeliling penjuru bumi. Sejauh langkah membawanya. Ia berkelana bukan hanya hendak mencari kesuksesan, najwatan, tapi juga karena ia sedang berlari dari kebinasaan, halak. Pada akhirnya, halak tetap menemukannya. Matikah ia? Ataukah ia jadi budak kapitalis Persia atau Bizantium? Tidak ada yang benar-benar tahu. Sebab ia #kaburajadulu ke penjuru yang jauh. Namun setelah lewat sekian masa, ia tidak pernah kembali. Sulaikah pun menyimpulkan, bahwa pemuda itu telah habis dimamah Manaya dalam siklus dahr yang kejam:


لَيت شِعري ضلّةً أيّ شيءٍ قَتَلك

أَمريض لم تُعَدأم عدوٌّ خَتَلَك 

أَم تولّى بكَ ماغال في الدهرِ السُّلَك 

وَالمَنايا رصدٌلِلفَتى حَيثُ سَلَك 


Duhai adakah sesuatu membunuhmu? Sungguh ia telah keliru! 

Apakah sakit dan tiada yang merawatmu? Ataukah musuh pengecut menyergapmu?

Ataukah nasib buruk para pengelana, akhirnya merenggutmu?

Duhai, sungguh maut selalu mengintai, kemanapun pemuda menuju 


Perih yang ditanggung si Ibu menjadi lebih pahit sebab Sulaik ternayta adalah pemuda yang sangat baik dan berbakat dan sarat prestasi. Mungkin seperti anak-anak muda dengan potongan awardee LPDP itu, yang merasa perlu #kaburajadulu karena idealisme mereka, Sulaik juga punya kualitas ideal pemuda Arab pra-Islam: 


أيّ شيءٍ حسن لِلفَتى لَم يكُ لَك

كلّ شيءٍ قاتلٌ حينَ تلقى أَجَلَك

طالَ ما قَد نلت في غيرِ كدٍّ أَمَلك

Segala kebaikan,  adakah yang tak kau lakui

Segala bisa membunuh, bila ajal menemui

Segala pernah kau raih, tiap engkau maui


Namun dengan semua kebaikan dan keterampilannya itu, tak menghalangi nasib buruk menguntit dan menghabisinya. Sampai-sampai, ia yang baik dan kuat itu, kini terbujur kaku. Bahkan untuk menjawab ratapan ibunya pun, ia sudah tak mampu. 

إِنّ أَمراً فادحاً عَن جَوابي شَغَلك

سَأُعزّي النفسَ إِذ لَم تُجِب مَن سَأَلَك

لَيتَ قَلبي ساعةً صبرهُ عَنك مَلَك

لَيتَ نَفسي قُدّمَت لِلمَنايا بَدَلَك


Sungguh suatu nan buruk, membuatmu tak mampu menjawabku

Kan kutakziyahi diriku, sebab tidak kau balas tanyaku 

Andai bisa sesaat saja, hatiku sabar melepasmu

Andai bisa diriku saja, direnggut maut menggantimu


Maut di dalam syair ini disebut dengan terminologi yang khas dalam syair-syair Jahiliyah; al-manaya. Sebenarnya, secara leksikal, artinya sama dengan maut. Tapi di dalam syair-syair Jahili, ia seakan menjadi personifikasi dari kematian yang bisa tiba-tiba menyergap, dari arah yang tidak disangka-sangka sebab sesama manusia sama kejamnya dengan alam sekitar. Ahmad Al-Jallad dalam studinya terhadap prasasti-prasasti Safaitic Arab pra-Islam juga menemukan hal serupa; manaya adalah simbol dari nasib yang ‘tuli’ dan ‘bodo amat’ terhadap keadaan dan jeritan manusia. 


Istilah ini melambangkan kesadaran, bahkan keyakinan, akan rapuhnya hidup, kerasnya alam, dan acaknya nasib. Manaya yang mungkin mewujud sergapan musuh, terkaman hewan buas, cuaca mematikan, atau apapun itu bisa bisa datang tiba-tiba. Pahitnya, setelah kita mati, tidak ada yang tersisa kecuali memori kepahlawanan, kedermawanan, dan keinginan orang yang masih hidup untuk mengingatnya. Begitulah hidup dalam deru ad-dahr, masa tak berawal tak berujung yang menggulung tak terbendung.


Duo al-manaya dan al-dahr mungkin bisa dijukstaposisikan dengan konsep taqdir dan akhirah yang dibawa oleh Islam. Dari namanya saja, taqdir sudah menunjukan adanya ketentuan yang ditetapkan dengan perhitungan. Tentu ketentuan itu dibuat oleh Dzat yang Maha Tahu tentang yang terbaik untuk manusia, Maha Pengasih dan Maha Adil sehingga tidak akan menyia-nyiakan kebaikan mereka. Meskipun semua manusia telah lupa, Dia tidak akan melupakan semua kebaikan kita dan akan membalasnya di akhirah, akhir sejati dari perjalanan, dimana semua buah perbuatan akan dipanen. 


Seorang Islamolog Jerman ternama, Angelika Neuwirth, bilang bahwa salah satu yang dibawa al-Qurʾān ke dalam pandangan dunia Arab Jahili adalah optimisme menghadapi hidup. Neuwirth berbicara tentang konsep wahyu bermakna dalam al-Qurʾān vs wahyu tak bermakna ala syair Jahili. Namun tampaknya, pergeseran dari pola pikir materialistik-nihilistik-pesimis ke arah yang lebih optimis juga bisa dirasakan ketika membandingkan konsep al-manaya dan al-dahr dengan konsep taqdir dan akhirah.   


Lalu apa kaitannya dengan #kaburajadulu? Seperti elegi Sulaikah, halak dan manaya akan selalu mengincar, kemanapun orang-orang muda kabur mencari najwah, kesuksesan. Kekecewaan akan selalu ada, dimanapun kaki menjejak. Halak hanya bisa dihindari secara permanen dengan menghindari jebakan materialistik-pesimistik Jahili yang menjebak Sulaik dan ibunya. 


Seindah apapun elegi Sulaikah, pandangan dunianya terlalu pesimis untuk mengungkap sisi lain dari kesuksesan. Bahwa jika seorang kabur dari keburukan, tidak sekedar kabur karena tidak dapat jatah, maka meskipun ternyata manaya tetap menyergapnya, ia tidak akan berakhir sia-sia. Gagal dan sukses materialistik datang silih berganti sebab begitulah ketetapan taqdir dari Tuhan. Namun Dia juga telah menentukan bahwa mereka yang menetapi kebaikan terlepas dari gonjang-ganjing dunia material ini hakikatnya selalu sukses. Jadi jika hendak mengejar najwah sejati, kaburlah dari segala praktik korup itu, bukan semata karena tidak bisa ikutan korupsi. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buya Hamka Tentang Surah Asy-Syu'ara dan Pemusik

Kritik Teks al-Qurʾān (2): Ragam Qirāʾāt, Mushaf Sahabi, dan al-Qurʾān Edisi Kritis

Tafsir Suraʾ al-Fātiḥah Bahasa Duri