Ketika Tajwīd Jadi Tafsīr : Kaitan Pelantunan dan Makna dalam al-Qurʾān
Kita sering mendengarkan nasehat bahwa membaca al-Qurʾān itu perlu hati-hati, sebab beda panjang pendek saja bisa mengubah makna. Mungkin yang menyampaikan pesan seperti itu sedang merujuk ke kejadian dimana perbedaan pelantunan bisa menimbulkan makna berbeda karena memang kata yang diucapkan menjadi beda. Contohnya maliki yawmiddīn vs māliki yawmiddīn yang sama-sama bisa diterima, atau kejadian kacau bila ada yang membaca la pendek pada ayat lā ʾaʿbudu mā taʿbudūn.
Namun ternyata, kaitan antara oralitas dan makna dalam al-Qurʾān bisa lebih subtil dari kedua contoh tadi. Setidaknya begitulah argumen yang dibangun oleh Tareq Moqbel dalam artikelnya Aural Aesthetics: The Poetics of Sound and Meaning in the Qurʾān. Menurut akademisi sekaligus ustadz dari Cambridge ini, penelusuran terhadap makna al-Qurʾān harus memperhatikan sifatnya yang paling fundamental; bahwa al-Qurʾān pada dasarnya adalah sebuah ‘proklamasi oral’. Dari awal ia disampaikan hingga kini, pesan-pesan al-Qurʾān dikomunikasikan lewat suara. Jadi aturan pelantunan tertentu bisa membawa signifikansi maknawi tertentu pula.
Moqbel mendemonstrasikan poinnya itu dengan beberapa contoh. Tentu saya tidak akan menyebutkan semuanya di sini. Hanya beberapa contoh yang mewakili klasifikasi kaitan sound-meaning dalam al-Qurʾān yang diajukannya. Klasifikasi pertama adalah fenomena serupa onomatopoeia, dimana komposisi fonetik sebuah kata berfungsi untuk menyampaikan signifikansi semantik tertentu. Misalnya pada QS. Al-Qari‘ah (101:6–9), kata thaqulat, yang menunjukkan amal baik yang berat di timbangan, memiliki struktur fonetik yang lebih "berat" dibandingkan dengan khaffat, yang menggambarkan amal yang ringan di timbangan. Perbedaan beban fonetik ini mencerminkan makna masing-masing kata dalam konteks perhitungan amal di hari kiamat.
Fenomena serupa juga tampak dalam QS. Al-Mulk (67:19), yang menggambarkan burung yang mengepakkan sayapnya. Kata ṣāffāt (mengepakkan sayap) memiliki dua pemanjangan vokal panjang ā, yang dalam ilmu tajwid dikenal sebagai madd lāzim, jenis pemanjangan terpanjang. Moqbel mencatat bahwa al-Zamakhsyari mencatat kemungkinan adanya motif semantik yang subtil dari pemilihan kata kerja yaqbiḍna, alih-alih isim fāʿil, qābiḍātin. Jawaban mufassir Mu'tazilah itu lebih ke arah analisis gramatikal dan retorik, sedangkan Moqbel mengajukan kemungkinan kaitan aural-makna; Bunyi kata ini sesuai dengan gerakan melebarkan sayap yang membutuhkan rentang gerakan yang luas. Sebaliknya, dalam frasa wa-yaqbiḍna (melipat sayap), tidak terdapat pemanjangan suara, yang selaras dengan gerakan melipat yang lebih singkat dan tertutup.
Menurut Moqbel, keterkaitan semantik-fonetik paling banyak dijumpai pada surah-surah Makkiyah yang pendek. Contohnya pada surah QS. Al-‘Ādiyāt (100), dimana keterkaitan ini bukan saja pada level kata per kata, tapi bahkan terasa jelas di keseluruhan struktur surahnya. Surah ini menggambarkan kuda perang yang berlari kencang, dipenuhi dengan kata-kata seperti ḍabḥan, qadḥan, ṣubḥan, naq‘an, dan jam‘an. Kata-kata ini memiliki bunyi yang tajam dan ritme yang cepat, mencerminkan kecepatan dan ketegangan suasana dalam peristiwa yang digambarkan. Namun, bagian akhir surah ini berubah menjadi lebih panjang dan tenang dalam konstruksi bahasanya, sesuai dengan tujuannya untuk mengajak refleksi yang mendalam.
Hal serupa juga bisa dilihat pada surah al-Masad (111). Surah ini yang berisi kecaman terhadap Abu Lahab dan istrinya didominasi oleh bunyi konsonan keras, khususnya huruf bāʾ (/b/), yang muncul di akhir empat dari lima ayatnya. Huruf ini dikenal sebagai salah satu huruf yang kuat dalam ilmu fonetik Arab dan berkontribusi dalam membangun nada kecaman yang tegas dan tajam. Tentu efek hentakan pada surah al-Masad ini tidak akan terasa jika ia dibaca tanpa memperhatikan aturan qalqalah.
Selain di ranah tajwīd, Moqbel juga berargumen bahwa aturan-aturan fonetik pada bagian uṣūl qirāʾāt juga bisa menjadi kendaraan makna yang cukup subtil. Ia memberikan contoh surah al-Fatihah (1:3–4): "ar-raḥmāni r-raḥīmi, māliki yawmi d-dīn" (Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Pemilik Hari Pembalasan). Jika rangkaian ayat ini dibaca dengan mengikuti aturan idghām kabīr, dimana dua huruf mīm pada akhir ayat 3 dan awal ayat 4 dengan menghilangkan vokal pendek di antaranya, kita mendapatkan pemahaman tambahan; pengucapan yang terhubung ini mengisyaratkan bahwa rahmat Allah tidak terpisah dari kekuasaan-Nya, bahkan mencakup Hari Pembalasan itu sendiri. Pesan ini tentu susah tersampaikan secara emotif dalam lantunan bacaan iẓhar.
Kasus uṣūl qirāʾāt lainnya ada di surah Yusuf (12:69), khususnya kalimat; "wa-lammā dakhalū 'alā yūsufa āwā ilayhi akhāhu qāla innī anā akhūka fa-lā tabta'is bimā kānū ya‘malūn" (Ketika mereka masuk menemui Yusuf, ia merangkul saudaranya [Bunyamin] dan berkata, “Sesungguhnya aku adalah saudaramu, maka janganlah bersedih atas apa yang telah mereka lakukan”). Dalam qirā’ah Warsh dari Nāfi‘, kata anā mengalami madd tambahan pada vokal panjang sebelum hamzah, sehingga pengucapannya berlangsung sekitar lima hingga enam ketukan.
Menurut Moqbel, pemanjangan ini selaras dengan emosi yang mendalam dalam adegan tersebut, ketika Yusuf akhirnya mengungkapkan identitasnya kepada Bunyamin. Panjangnya suara dalam kata ini meningkatkan dampak dramatis dari kisah tersebut, membantu pendengar membayangkan dan merasakan momen emosional tersebut dengan lebih kuat. Pendengar seolah diletakan di hadapan Yusuf yang memeluk saudaranya seraya menenangkan bahwa semuanya segera berakhir sebab ‘aku!’ sudah di sini.
Sekilas, argumen Moqbel bisa jadi terasa terlalu subjektif dan arbiter. Mirip-mirip orang yang bisa melihat ada bentuk kelinci di awan. Namun sebenarnya, kaitan antara aturan pelantunan oral dengan sensitivitas eksegetikal adalah fenomena yang tidak unik pada tradisi al-Qurʾān. Fenomena serupa juga terjadi dalam tradisi interpretasi dan musikalisasi Injil Ibrani pada abad pertengahan. Moqbel bahkan menulis artikel tersendiri dimana ia melakukan analisis fungsi penafsiran aturan penjedaan (waqf) dalam tradisi pembacaan al-qurʾān dan Injil Ibrani. Lagipula, menurut saya ini hal yang cukup common sense dan make sense, cobalah nyanyikan Bayar Bayar Bayar nya Sukatani dengan profil nada Sal Priadi, pasti rasanya dan maknanya akan beda.
Adanya fenomena paralel dalam tradisi lain menunjukan bahwa kaitan lantunan-makna ini cukup ‘objektif’ untuk bisa menjadi objek penelitian khusus. Apalagi, korpus tajwīd tampaknya masih cukup understudied dibanding tradisi ‘resepsi’ al-qurʾān yang lain, terutama kaitannya dengan penafsiran al-Qurʾān. Poin Moqbel tentang uṣūl qirāʾāt pun juga menarik untuk diulik lebih lanjut. Saya kok merasa, penelusuran ke buku-buku taʿlīl qirāʾāt mungkin bisa mengantarkan kita pada ide-ide kaitan lantunan-makna yang mungkin saja sudah pernah diajukan oleh sarjana Muslim terdahulu.
Komentar
Posting Komentar