Pembelaan Allah Kepada Yahudi Muṣlih: Terjemahan Tafsīr Muqātil QS. 2:11-16

 


﴿ وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ ١١ اَلَآ اِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُوْنَ وَلٰكِنْ لَّا يَشْعُرُوْنَ ١٢ وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ اٰمِنُوْا كَمَآ اٰمَنَ النَّاسُ قَالُوْٓا اَنُؤْمِنُ كَمَآ اٰمَنَ السُّفَهَاۤءُ ۗ اَلَآ اِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاۤءُ وَلٰكِنْ لَّا يَعْلَمُوْنَ ١٣ وَاِذَا لَقُوا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قَالُوْٓا اٰمَنَّا ۚ وَاِذَا خَلَوْا اِلٰى شَيٰطِيْنِهِمْ ۙ قَالُوْٓا اِنَّا مَعَكُمْ ۙاِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِءُوْنَ ١٤ اَللّٰهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِيْ طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُوْنَ ١٥ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ اشْتَرَوُا الضَّلٰلَةَ بِالْهُدٰىۖ فَمَا رَبِحَتْ تِّجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوْا مُهْتَدِيْنَ ١٦ ﴾

[11] Apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi,” (yakni jangan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat di muka bumi), mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.” (yakni orang-orang yang taat).  Allah pun berfirman; [12] Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan (yakni orang-orang yang tidak taat), tetapi mereka tidak menyadari (bahwa mereka adalah pelaku kerusakan).

[13] Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman,” (Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kejadian ketika Mundzir ibn Muʿādz, ʾAbī Lubābah, Muʿādz ibn Jabal, dan Usaid berkata kepada orang-orang Yahudi, “Akuilah kebenaran bahwa Muhammad itu adalah seorang Nabi, sebagaimana Abdullah bin Salam dan sahabat-sahabatnya telah mengakuinya.”

(Orang-orang Yahudi itu kemudian merespon) mereka menjawab, “Apakah kami akan beriman (yakni mengakui kebenaran tersebut) seperti orang-orang yang picik akalnya itu beriman?” (picik akal berarti orang-orang bodoh. Maksud mereka adalah Abdullah bin Salam dan sahabat-sahabatnya. Allah ta’āla kemudian berfirman sebagai sanggahan kepada mereka) Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang picik akalnya, tetapi mereka tidak tahu (bahwa justru merekalah yang memiliki akal picik).

Allah kemudian menggambarkan sikap mereka [14] Apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, (orang-orang yang mengakui kebenaran, yaitu para sahabat Nabi saw), mereka berkata (kepada para sahabat Nabi), “Kami telah beriman.” (mereka berkata bahwa ‘kami telah mengakui benarnya kenabian Muhammad). Akan tetapi apabila mereka menyendiri dengan setan-setan mereka (maksudnya adalah para pemimpin Yahudi ketika itu, Ka’ab bin al-Asyraf dan kolega-koleganya), mereka berkata, “Sesungguhnya kami bersama kamu (mengikuti agamamu), kami hanya pengolok-olok Muhammad dan sahabat-sahabatnya.”

Allah kemudian berfirman; [15] Allah akan memperolok-olokkan mereka (di akhirat ketika Dia menciptakan tembok berpintu antara mereka dan orang-orang beriman ketika sedang berada di titian sirat, tembok itu membuat mereka berada di dalam kegelapan. Lalu dikatakan kepada mereka ketika itu, “Kembalilah dan carilah untukmu sendiri cahaya!”[1] Itulah salah satu makna mengolok-olok itu. Allah kemudian berfirman) dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan (yakni Allah membiarkan mereka terus bersikap plin-plan dalam kesesatan mereka).

(Allah lalu menggambarkan sifat mereka) [16] Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk. (Hal itu karena orang-orang Yahudi tersebut mendapati deskripsi tentang Nabi Muhammad di dalam Taurat mereka sehingga mereka mengimaninya. Mereka menyangka bahwa Nabi Muhammad berasal dari keturunan Nabi Ishaq AS. Namun ketika Nabi Muhammad kemudian diutus dari kalangan bangsa Arab yang merupakan keturunan Nabi Ismail AS, mereka pun mengingkarinya karena sifat hasad mereka.

Kalimat ‘membeli kesesatan dengan petunjuk’ bermakna mereka menukarkan hidayah berupa keimanan kepada Nabi Muhammad saw sebelum beliau diutus menjadi Rasul dengan kesesatan yang mereka alami setelah mengingkari kenabian Nabi Muhammad saw. Sungguh sebuah transaksi yang sangat buruk.) Maka, tidaklah beruntung perniagaannya dan mereka bukanlah orang-orang yang mendapatkan petunjuk (untuk keluar dari kesesatan tersebut)

 



[1] [al-Hadīd:13] Di dalam al-Asybah wa an-Naẓāir Muqātil menyebutkan bahwa di antara  makna “an-nūr” (cahaya) adalah agama Islam, keimanan, dan hidayah Allah yang disampaikan oleh Nabi-Nya. Sehingga di sini ketika mereka secara sarkastik diperintahkan untuk mencari sendiri ‘cahaya’, itu berarti mereka dicampakkan dan dijauhkan dari pertolongan sebab tentu mereka tidak mungkin menemukan hidayah Islam dan Iman kecuali melalui nabi-nabi Allah, utamanya Nabi Muhammad saw.  Tentu tidak semua an-nūr dimaknai demikian, sebab kata ini berulang disebutkan oleh al-Qur’ān dengan wujūh beragam. Tergantung konteks. Untuk kaitan dengan ayat sebelumnya, perhatikan postingan sebelumnya https://rujuktafsir.blogspot.com/2024/03/perangai-dan-balasan-orang-munafik.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buya Hamka Tentang Surah Asy-Syu'ara dan Pemusik

Kritik Teks al-Qurʾān (2): Ragam Qirāʾāt, Mushaf Sahabi, dan al-Qurʾān Edisi Kritis

Mengenal Klasifikasi Gaya Penulisan Manuskrip al-Qurʾān Pada Empat Abad Pertama Hijriyah