Sebelum Rasm Utsmānī: Proyek Abū Bakar, Mushaf Sahabi, dan Mushaf Ṣanʿāʾ I

 

Tiga Tahap Pengumpulan Bentuk Tertulis al-Qurʾān  

Rasm Utsmani dapat dikatakan sebagai hasil dari kerja kolektif ulama umat Islam generasi pertama. Tahap awal kerja tersebut berlangsung di bawah bimbingan Rasulullah secara langsung, lalu dua tahap setelahnya berlangsung di bawah bimbingan para sahabat utama yang menjadi khalifah beliau. Dapat pula dikatakan bahwa tokoh terpenting dalam proses pelaksanaannya adalah Zaid bin Tsabit. Beliau sudah menjadi penulis wahyu sejak masa Rasulullah, lalu menjadi pelaksana kompilasi mushaf pada masa Abū Bakar, dan akhirnya turut menjadi tim inti dalam standarisasi mushaf pada masa Utsmān bin Affān. 

Ketiga tahap penulisan wahyu tersebut bisa dikatakan sebagai tiga tahapan pembentukan rasm - yang nantinya akan disebut rasm Utsmani. Pada masa Rasulullah, diriwayatkan bahwa setiap Nabi menerima wahyu baru, ia akan memanggil Zaid dan memintanya datang bersiap dengan alat tulisanya. Namun ini tidak berarti bentuk rasm yang digunakan untuk menuliskannya, yang kemudian meninggalkan jejaknya dalam rasm Utsmani, diajarkan oleh Nabi. Oleh karena itu, para ulama rasm terkemuka seperti Abū ʿAmr ad-Dāni tidak pernah menisbatkan bentuk rasm kepada Nabi, selalu kepada para sahabat.  Salah satu elemen tertulis al-Qurʾān yang sudah ‘fiks’ dari masa kenabian antara lain adalah urutan ayat dan penempatannya dalam surah tertentu. Namun demikian, wahyu yang tertulis tersebut masih terpisah-pisah. Belum terkumpul dalam satu dokumen tunggal. 

Pengumpulan seluruh al-Qurʾān dalam satu mushaf utuh dimulai pada masa khalifah Abū Bakar. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab khawatir melihat banyaknya penghafal al-Qurʾān yang meninggal dalam perang Riddah. Jika melihat konteks pengumpulan mushaf pada khalifah kedua ini, maka bisa dikatakan bahwa tujuan utamanya preservasi. Metode para sahabat dalam pengumpulan ini adalah mengumpulkan semua catatan tertulis yang pernah ada pada zaman Nabi. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit duduk di masjid dan menanyakan mereka yang datang apakah mereka pernah talaqqi al-Qurʾān kepada Nabi Muhammad. Beliau berdua kemudian memastikan autentisitas laporan orang itu dengan memintanya menghadirkan dua saksi. 

Dari analisis berbagai laporan tentang metode pengumpulan al-Qurʾān pada masa Abū Bakr ini, Abū Šāmah menyimpulkan bahwa sumber utama pengumpulan ini adalah laporan tertulis. Di samping tulisan wahyu yang tentunya dimiliki oleh Zaid sendiri, bersama dengan penulis wahyu lainnya, beliau dan Umar juga meminta mereka yang melaporkan hasil talaqqi mereka menunjukan bentuk tertulis talaqqi tersebut, bukan sekedar berdasarkan hafalan. Maksud dari persaksian dua saksi itu, menurut Abū Šāmah, adalah bahwa mereka benar-benar menyaksikannya ditulis di hadapan Rasulullah. Dengan demikian, transmisi tertulis al-Qurʾān pada masa ini dengan sendirinya sudah membawa ‘gen’ kekhasan rasm yang nantinya akan muncul dalam rasm Utsmani. 

Hasil dari pengumpulan al-Qurʾān dalam bentuk tertulis pada masa Abū Bakar adalah sebuah mushaf yang tetap ada di Madinah, ibu kota kekhalifahan. Sementara untuk mengajarkan al-Qurʾān kepada penduduk di provinsi lainnya, para sahabat berangkat dengan membawa qirāʾāt mereka masing-masing. Oleh karena itu, menurut Ibn ʿĀtiyah, pada masa antara pengumpulan Abū Bakar dan standarisasi Utsman, umat Islam mempelajari al-Qurʾān sesuai dengan qirāʾāt para sahabat besar yang menjadi guru mereka masing-masing. Di masa inilah muncul dan tersebar Mushaf Ibn Masʿūd, Ubay, Mushaf Sahabi di Šām, dan lainnya. Di antara mushaf-mushaf tersebut terdapat variasi qirāʾāt yang muncul sesuai dengan rukhsah sabʿatu aḥruf. 

Mushaf Ṣanʿāʾ I sebagai Mushaf Sahabi   

Kita tidak memiliki bukti material yang bisa menjadi sumber data untuk mengeksplorasi lebih jauh proyek Abū Bakar dan keberadaan mushaf-mushaf sahabi. Sumber informasi tentang keberadaan kedua fenomena sejarah tersebut sepenuhnya bergantung pada laporan dalam tradisi Islam. Karena itu, beberapa sarjana moderen seperti John Wansbrough dan John Burton menganggap mushaf shahabi sebagai fiksi yang dibuat ulama Muslim untuk mendukung doktrin-doktrin mereka. Namun analisis terhadap bukti material berupa manuskrip al-Qurʾān tua yang dikenal sebagai Palimpsests Sanʿā justeru mendukung eksistensi mushaf sahabi - dan mungkin pula menjadi sumber informasi untuk melihat aspek tertentu dari proyek Abū Bakar.

Palimpsest Sanʿā adalah lembaran-lembaran manuskrip al-Qurʾān tua yang ditemukan bersama dengan berbagai manuskrip lainnya di plafon Masjid Raya Sanʿāʾ yang runtuh akibat banjir. Disebut palimpsest karena perkamen ini pernah digunakan untuk menulis satu teks yang kemudian dihapus dan digunakan untuk menulis teks baru. Teks lama yang sudah dihapus itu disebut scripto inferior (teks bawah) sedangkan teks baru yang ditulis di atasnya disebut scripto superior (teks atas). Seiring waktu, ternyata teks bawah itu kemudian muncul lagi sehingga bisa terbaca. Teks atas palimpsest ini tidak begitu menarik bagi para peneliti, sebab ia ‘hanya’ teks al-Qurʾān biasa, mengikuti teks standar Utsmani. Beda cerita dengan teks bawahnya, yang juga al-Qurʾān tapi “beda” dari teks al-Qurʾān Utsmani. 

Bisa dibayangkan, ketika pertama kali ditemukan pada tahun 80an, laporan media tentangnya cukup heboh. Kehebohan ini menjadi semakin riuh karena narasi yang berkembang di media Barat dan Arab tentang otoritas Yaman yang menghalang-halangi peneliti Barat untuk mengulik isi manuskrip itu. Framing media ketika itu menggiring pada kesimpulan bahwa otoritas Yaman takut temuan para peneliti itu akan mengguncang keyakinan mendasar umat Islam. Tampaknya, mereka yang membangun narasi tersebut tidak menyadari bahwa tradisi Islam justeru merekam adanya variasi ḥarf di kalangan para sahabat Nabi. 

Perlu dicatat bahwa seiring berjalannya waktu, para peneliti telah menemukan beberapa lembaran manuskrip lainnya yang ternyata dulu pernah menjadi satu bagian dari manuskrip tersebut. Saat ini sudah ditemukan 80 folio manuskrip yang dulu merupakan bagian dari manuskrip Sanʿā. Jika melihat teks atasnya, maka 80 folio itu mencakup 40% dari keseluruhan teks al-Qurʾān. Jadi, istilah Codex Sanʿā I di kalangan para peneliti merujuk kepada keseluruhan lembaran tersebut, bukan hanya yang ditemukan di plafon masjid itu. Keseluruhan manuskrip itu pulalah yang di tulisan ini saya sebut ‘mushaf Sanʿā’.

Ada berbagai segi yang diulik para peneliti manuskrip al-Qurʾān dari teks palimpsest Sanʿā, tapi untuk kepentingan diskusi kita, ada tiga yang paling relevan. Hal pertama tentu saja penanggalannya, kedua tentang kaitannya dengan mushaf sahabi, dan ketiga tentang fiksasi bentuk surah pada masa sebelum kemunculan mushaf-mushaf sahabat dan mushaf-mushaf Utsmāni.  

Dari segi penanggalan, menurut Sadeghi dan Bergmann, hasil penelitian menunjukkan bahwa perkamen Ṣanʿāʾ kemungkinan berasal dari periode antara tahun 614 M hingga 656 M. Namun menurut keduanya, sejauh menyangkut sejarah al-Qurʾān, pertanyaan yang paling menarik justeru apakah perkamen tersebut berasal dari masa pra-kodifikasi Utsmān, atau sebelum 646 M, sebab khalifah ketiga tersebut berkuasa dari 23-35 H/644-656 M. Menjawab pertanyaan ini, mereka menyatakan; “Probabilitas bahwa perkamen itu lebih tua dari tahun 646 M adalah 75,1%, atau kemungkinan tiga banding satu. Oleh karena itu, sangat mungkin bahwa manuskrip Ṣanʿāʾ I diproduksi tidak lebih dari 15 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad.”

Dengan demikian, secara material, manuskrip Ṣanʿāʾ kemungkinan besar berasal dari masa yang sedang kita bicarakan. Masa sebelum rasm Utsmāni. Namun bagaimana dengan isinya? Pertanyaan ini membawa kita pada poin kedua, yakni kaitan artefak sejarah ini dengan mushaf sahabi. Dalam pepernya yang lain, Sadeghi bersama Mohsen Goudarzi, melakukan analisis terhadap teks bawah, sekaligus menerbitkannya. Mereka menemukan mushaf Sanʿāʾ memiliki varian ḥarf yang persis dengan Ibnu Mas‘ūd dan Ubay. Namun bukan berarti mushaf Ṣanʿāʾidentik dengan kedua mushaf sahabi paling kondang itu. 

Sebagian besar ḥarf dalam mushaf Ṣanʿāʾ tidak ditemukan dalam riwayat tentang mushaf sahabi, begitu pula sebaliknya. Karena ini, keduanya menyimpulkan bahwa mushaf Ṣanʿāʾ I memuat “tipe teks” tersendiri, yang kemungkinan berasal dari salah satu sahabat Nabi, yang tidak mungkin diketahui orangnya. Mereka cukup yakin dengan kesimpulan ini sebab meskipun isi dari mushaf Ṣanʿāʾ tidak identik sepenuhnya dengan mushaf Ibnu Masʿūd maupun Ubay, tapi secara ‘jenis’, mereka identik. Jenis di sini merujuk kepada variasi ḥarf yang diasosiasikan dengan mushaf sahabi seperti    penambahan, penghilangan, perubahan urutan, dan penggantian kata. Ditemukan juga variasi sufiks, prefiks, preposisi, dan kata ganti. Beberapa varian melibatkan perubahan persona, tenses, modus, atau suara (pasif atau aktif), atau penggunaan kata berbeda dengan akar yang sama.

Keterkaitan antara mushaf Ṣanʿāʾ dengan mushaf sahabi juga terlihat dalam urutan surahnya. Kajian Sadeghi dan Goudarzi, belakangan dikuatkan oleh kajian  Éléonore Cellard, menunjukan bahwa urutan surah dalam mushaf ini memang berbeda dari urutan surah Utsmani, tapi sama - hampir identik - dengan urutan surah dalam mushaf Ibn Masʿūd dan Ubay. Namun jika melihat pada urutan ayat di dalam surah, maka ketiga tipe teks atau ḥarf ini (Utsmani, Ṣanʿāʾ I, dan Ibn Masʿūd/Ubay) tampak sama. Hal ini mendorong Sadeghi untuk menyimpulkan bahwa konten surah, artinya ayat apa yang ada di dalam surah mana, berasal dari masa yang lebih awal dari kemunculan tipe teks mushaf sahabi -  baik mushaf Ṣanʿāʾ maupun ḥarf Ibn Masʿūd dan ʾUbay -  dan tipe teks Utsmani. Dengan kata lain, dari masa kenabian atau paling tidak pada masa Abū Bakr.     

Temuan menarik lainnya adalah upaya ‘kritik teks’ yang dilakukan oleh Sadeghi dengan data varian teks dari rasm Utsmani, tipe teks Ṣanʿāʾdan mushaf sahabi lainnya. Tujuan dari kritik teks ini adalah untuk mencari tipe teks manakah yang paling mendekati ‘prototipe’ teks Nabi. Ia menyimpulkan bahwa teks Utsmani terlihat paling bisa mewakili prototipe teks/bacaan Nabi tersebut, sebab setiap kali ada perbedaan diantara ketiganya, teks Utsmani hampir selalu berada di posisi mayoritas, dia tidak pernah ‘beda sendiri’. Hampir selalu yang beda sendiri adalah mushaf Ubay/Ibn Masʿūd atau Ṣanʿāʾ. 

Dengan demikian, jika melihat gabungan bukti-bukti material maupun data-data historis yang bisa dikumpulkan dari sumber-sumber tradisional Muslim, kita bisa melihat gambaran umum transmisi tertulis al-Qurʾān pada periode awal ini sebagai transmisi ‘bhinneka tunggal Ika’. Artinya, masing-masing sahabat mengajarkan al-Qurʾān sebagaimana mereka pelajari dari Nabi. Namun memang sejak awal, Nabi memberikan keringanan melalui hadis sabʿatu aḥruf sehingga darinya muncul beberapa aḥruf dari satu kalamullah yang sama. Dengan memakai peristilahan sejarawan teks, muncul ragam tipe teks dari sebuah teks yang multiform yang dibentuk oleh model transmisi yang mencampurkan mode oral dan tertulis. Dapat dikatakan bahwa hal paling fundamental yang menjadi pemersatu dari semua ‘tipe teks’ tersebut adalah komposisi isi surah. 

Untuk analisis lebih detail dan contoh konkrit dari varian di antara tipe-tipe teks tersebut, rujuk beberapa artikel penting ini: 

Cellard, Éléonore. “The Ṣanʿāʾ Palimpsest: Materializing the Codices.” Journal of Near Eastern Studies 80, no. 1 (2021): 1–30.

Sadeghi, Behnam, and Uwe Bergmann. “The Codex of a Companion of the Prophet and the Qurʾān of the Prophet.” Arabica 57, no. 4 (2010): 343–436. 

Sadeghi, Behnam, and Mohsen Goudarzi. “Ṣanʿāʾ 1 and the Origins of the Qurʾān.” Der Islam 87, no. 1–2 (2012): 1–129.

Marijn van Putten. “Textual Criticism of the Quran.” Textual History of the Bible (2024): 152.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buya Hamka Tentang Surah Asy-Syu'ara dan Pemusik

Kritik Teks al-Qurʾān (2): Ragam Qirāʾāt, Mushaf Sahabi, dan al-Qurʾān Edisi Kritis

Tafsir Suraʾ al-Fātiḥah Bahasa Duri