Hijrah Menurut AGH Quraisy Shihab: Peneguhan Akidah Berbasis Ilmu Pengetahuan



Selamat datang 1445 Hijriyah! Dari namanya saja, sistem penanggalan umat Islam ini tidak bisa dilepaskan dari hijrah, baik sebagai peristiwa sejarah maupun sebuah konsep. Lagipula, konsepsi kita tentang hijrah tentu tidak mungkin lepas dari peristiwa hijrahnya Baginda Rasulullah; normativitas dan historistas selalu berjalin kelindan. Keterjalinan ini bisa dilihat dari pemaparan Anregurutta Quraisy Shihab tentang hijrah. So, dalam rangka menyambut tahun baru ini, tampaknya menarik menyimak pemaparan beliau tentang Hijrah.

Beliau tentu sudah membahas panjang lebar soal hijrah; menggalinya sebagai peristiwa fundamental dalam sejarah Islam dan membangunnya menjadi konsep yang koheren. Namun tulisan singkat ini hanya akan mengkliping dua poin saja dari pemparan beliau. Kliping karena saya tidak akan banyak ber-ta’liq apalagi ber-hasyiyah ria. Dua poin ini akan ditampilkan relatif apa adanya. Keduanya diambil dari Tafsir al-Mishbah, magnum opusnya yang belakangan ini sedang saya akrabi.

Poin pertama adalah tentang hakikat dan tujuan hijrah. Bagian ini terdapat dalam uraian Anregurutta terhadap rangkaian ayat tentang hijrah di surah al-Anfal, khususnya ayat 72. Konteks ayat ini memang tentang peristiwa Hijrah Nabi bersama dengan para Muhajirun dan pujian bagi Kaum Anshar yang menyambut dan menolong mereka.

Dari analisis kebahasaan dan refleksi historis pada peristiwa hijrah, Anregurutta menekankan bahwa hakikat hijrah adalah berpindah dari lingkungan yang buruk ke lingkungan yang baik. istilah hijrah sendiri hanya digunakan untuk perpindahan dari yang buruk menuju pada kebaikan. Kriteria “kebaikan” lingkungan ini pun jelas, yakni suatu lingkungan yang memungkinkan seseorang menjaga akidahnya. Dalam istilah beliau, menikmati “memelihara keimanan” bebas dari “ganggaun masyarakat.”

Hijrah adalah bukti yang paling jelas tentang ketidaksenangan seseorang pada aktivitas penduduk satu wilayah. Memang, kata hijrah tidak digunakan kecuali untuk meninggalkan sesuatu yang dianggap buruk. Hijrah juga merupakan bukti keimanan yang paling jelas. Sejak masa lampau hingga masa modern, mereka yang ingin memelihara keimanannya dari gangguan masyarakat selalu berhijrah. Nabi Ibrahim as. berhijrah. Nabi Lûth, Nabi Mûsâ, dan Nabi Muhammad saw. kesemuanya berhijrah. (Tafsir al-Mishbah (4/616).

Meskipun tujuan utama hijrah adalah untuk menjaga akidah, namun Anregurutta menegaskan bahwa tujuan hijrah bukanlah semata-mata untuk hidup terisolir. Dibalik penjagaan akidah yang pada dasarnya bersifat pribadi dan ukhrawi, hijrah juga berdimensi sosial  bahkan civilizational. Hijrah adalah langkah awal mendirikan peradaban alternatif. Uniknya, contoh yang beliau berikan, selain hijrahnya Baginda Rasul  yang melandasi peradaban Islam, juga hijrahnya para Puritan Inggris ke Dunia Baru alias Amerika;  

Orang-orang Inggris yang ingin mempertahankan keyakinannya pun berhijrah ke Amerika dan berhasil membangun peradaban baru. Demikian hijrah merupakan cara yang berat tapi ampuh untuk memelihara akidah, bahkan untuk membangun peradaban baru. (Tafsir al-Mishbah (4/616).

Poin berikutnya dari Anregurutta adalah tentang cara berhijrah. Poin ini beliau terangkan setelah mengkritik tipikal ceramah Muharram yang suka sekali bicara soal laba-laba dan sarang burung di pintu gua Tsur itu. Beliau menjelaskan ini ketika menafsirkan potongan ayat kesembilan surah a-Taubah; wa ayyadahû bijunûdin lam tarawhâ/ Dia mendukungnya dengan tentara-tentara yang kamu tidak melihatnya. Berikut uraian beliau

Kata junûd serta uraian tentang tentara Allah telah dikemukakan ketika menafsirkan ayat 26 surah ini. Dalam konteks ayat ini, banyak riwayat yang menjelaskan maksudnya seperti adanya laba-laba yang menutupi mulut gua atau dua ekor merpati di sana. Riwayat-riwayat itu sangat poluler, namun demikian penulis tidak cenderung menguraikannya karena sering  kali hal ini menjadikan siapa yang mendengar riwayat yang diperselisihkan nilainya itu melupakan usaha maksimal Rasul saw. serta upaya-upaya yang didasari oleh hukum-hukum Allah yang berlaku di alam raya guna meraih sukses. Misalnya, upaya beliau menempuh jalur yang tidak biasa ditempuh; penugasan penunjuk jalan, yaitu seorang non-muslim bernama ‘Abdullâh Ibnu Arqath; penugasan ‘Ali Ibnu Thâlib ra. untuk tidur di pembaringan beliau dan berselimutkan selimut beliau, di samping upaya-upaya yang dilakukan oleh ‘Abdullâh dan Asma’, putra putri Sayyidinâ Abû Bakar ra., demikian juga Âmir Ibnu Fuhairah, budak yang dimerdekakan Sayyidinâ Abû Bakar ra., dan lain-lain yang kesemuanya merupakan faktor-faktor  rasional—bukan suprarasional—dalam mencapai sukses berhijrah itu. Ini semua tanpa mengingkari adanya faktor-faktor suprarasional yang dianugerahkan Allah Swt. (Tafsir al-Mishbah 5/111).

Selain karena nilai riwayat (kesahihan) tentang laba-laba dan merpati itu masih debatable, Anregurutta juga khawatir jika kisah demikian membuat umat Islam mengecilkan “hukum-hukum Allah” dalam hijrah. Tentu hukum yang dimaksud di sini bukanlah hukum syariat, tapi hukum “yang berlaku di alam raya”. Di tempat lain di al-Mishbah Anregurutta menyatakan bahwa untuk bisa berjaya selain harus menaati al-hukm at-tasyri’i, kita juga perlu menaati al-hukm al-takwini. Tentu karena kedua jenis hukum itu datangnya dari Allah, maka tidak ada alasan untuk mengikuti satu hukum dan melanggar yang lain. Tidak boleh pula mencukupkan diri dengan memperhatikan satu hukum saja.  

Dalam berhijrah, bahkan Rasulullah pun perlu mengikuti al-hukm at-takwini itu. Jadi, selain upaya menetapi sunnatullah (disebut oleh Anregurutta ‘hukum-hukum Allah’), melakukan hijrah dengan penuh perhitungan realistik pun adalah sunnah Rasulillah. Semesta hukum yang mengatur alam dan segala isinya itulah yang diteliti oleh beragam disiplin ilmu yang biasa kita sebut “ilmu umum”. Dalam konteks hijrah kita saat ini, saya pikir cabang ilmu yang perlu benar-benar kita perhatikan adalah ilmu sosial humaniora. Berhijrah tanpa ilmu bisa berabe; bukan semata ilmu syar’i, tapi juga ilmu tentang manusia, sebab setelah hijrahpun kita tetap akan hidup di tengah manusia – bahkan hijrah adalah pondasi membangun masyarakat alternatif, semua itu perlu ilmu. Di sisi lain, kajian soshum juga perlu jadi instrumen penopang hijrah, termasuk fenomena artis hijrah dan semacamnya itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buya Hamka Tentang Surah Asy-Syu'ara dan Pemusik

Kritik Teks al-Qurʾān (2): Ragam Qirāʾāt, Mushaf Sahabi, dan al-Qurʾān Edisi Kritis

Mengenal Klasifikasi Gaya Penulisan Manuskrip al-Qurʾān Pada Empat Abad Pertama Hijriyah