Wacana Kolonial dalam Studi Al-Qur’an dan Tafsir

 


Dari Iqtida’ al-ghalib ke Wacana Kolonial

Sejarawan dan perintis ilmu sosial, Ibnu Khaldun, menyatakan bahwa pengalaman dikuasai oleh bangsa lain akan memiliki efek kepada kedirian pada suatu bangsa. Menurutnya, bangsa yang tertakluk (maghlub) akan tergiring untuk mengikuti penakluknya (al-ghalib) mulai dari cara berpakaian hingga cara berpikirnya. Kecendrungan ini, menurut Ibnu Khaldun, muncul karena mereka yang kalah cenderung menganggap pihak yang mengalahkannya sebagai bangsa yang lebih unggul. Oleh karena itu, mereka kemudian terdorong untuk meniru penakluknya agar juga bisa menjadi bangsa unggul.

Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa bangsa yang kalah itu bahkan gagal melihat sebab-sebab eksternal dari kekalahan mereka. Si bangsa kalah benar-benar yakin bahwa ia kalah sebab memang bangsa yang menaklukannya itu sangat sempurna. Ketika ini terjadi, menurut Ibnu Khaldun, maka bangsa kalah akan benar-benar terpesona dan patuh seperti seorang anak kecil kepada bapaknya. Anak kecil akan mengidolakan dan mengikuti segala yang dinasehatkan oleh ayahnya tanpa banyak berpikir. Fenomena ini disbut oleh Ibnu Khaldun sebagai Iqtida’ al-ghalib, membebek kepada pemenang.

Dalam kajian-kajian yang lebih moderen, istilah Poskolonialisme digunakan untuk menyebut korpus kajian yang menganalisis efek kolonialisme kepada jiwa-kolektif bangsa bekas jajahan.  Tesis utama kajian Poskolonial adalah bahwa efek kolonialisme tidak sekedar material, ekonomi, maupun politik. Lebih dari itu, kolonialisme juga berpengaruh secara kultural dan intelektual. Dalam bentuk intelektual ini, terjadi kolonialisme epistemik, dimana cara bernalar bangsa terjajah akan tetap terjajah meski ia telah merdeka secara fisik.

Lebih dari itu, bangsa penjajah juga tetap merendahkan bangsa bekas jajahan secara epistemik melalui apa yang disebut “wacana kolonial”. Sederhanaya, wacana kolonial adalah aktivitas produksi pengetahuan oleh Barat yang menghasilkan pengetahuan tentang budaya non-Barat di bawah kendali kolonial. Wacana ini mengontrol apa yang diketahui dan bagaimana hal itu diketahui. Sengaja atau tidak, pada akhirnya pengetahuan yang diproduksi dengan kontrol ‘wacana kolonial’ akan menjustifikasi (memberikan pembenaran) pada dominasi pemikiran Barat atas non-Barat (Abadiah, 2006).

Dua Ciri Wacana Kolonial Studi Qur’an

Ternyata, efek pemikiran penjajahan ini tidak hanya terjadi dalam bangunan pengetahuan ilmu-ilmu sosial humaniora. Bahkan dalam kajian yang menjadi jantung peradaban Islam,  yakni studi al-Qur’an dan tafsirnya, masih terjadi kolonisasi pengetahuan. Problem ini telah disoroti banyak ulama dan cendekiawan Muslim, salah satunya adalah Joseph Lumbard. Di dalam artikelnya yang terbit di pertengahan tahun ini (2022) berjudul Decolonizing Quranic Studies (Mendekolonisasi Studi al-Qur’an), ia secara khusus menyoroti problem kolonisasi dalam studi Qur’an dan tafsir.

Sebagai sarjana yang telah mengeyam kajian al-Qur’an ala Barat dan ala tradisional di dunia Islam, ia bisa melihat adanya arogansi epistemik di kalangan sarjana Barat. Dalam artikelnya tersebut, ia menganalisis kesarjanaan Barat secara induktif ;  ia mengumpulkan banyak kasus lalu menyimpulkannya menjadi poin-poin umum. Dengan demikian, uraiannya ini meskipun tetap mengandung pengecualian (tidak semua sarjana Barat bersikap demikian), tetap saja ia berguna sebagai penggambaran umum terhadap kesarjanaan Barat.

Salah satu aspek wacana kolonial dalam studi Qur’an yang disoroti Lumbard adalah perlakuan sarjana Barat terhadap tradisi ulum al-qur’an dan tafsir di dunia Islam. Para peneliti Barat itu, kritik Lumbard, tidak menganggap tradisi Islam bisa menawarkan analisis dan teoretisasi. Oleh karenanya, tradisi dianggap semata-mata sebagai “sumber data”. Mereka memperlakukan tradisi Islam sebagai kumpulan data yang siap untuk mereka analisis secara “historis” dan “kritis”. Sementera itu, upaya menganalisis yang telah dilakukan oleh para ulama fikih, ushul fikih, dan tafsir selama lebih dari seribu tahun dikesampingkan begitu saja.

Semua bukti-bukti filologis (analisis bahasa), kesejarahan, dan intertekstualitas dianggap dibuat-buat untuk mendukung posisi teologis. Jadi mereka diangap tidak bisa berpikir dari bukti menuju kesimpulan. Mereka hanya bisa membuat kesimpulan teologis lalu membuat-buat buktinya. Asumsi dasarnya adalah, agama memang tidak berdasarkan akal dan argumentasi memadai. Bahkan jika argumentasi itu didasarkan pada kitab suci agama, tetap saja itu bentuk argumen yang diada-adakan untuk mendukung posisi yang telah dibentuk sebelumnya.

Dengan anggapan ini, sarjana Barat yang dimaksud tidak menganggap tradisi tafsir sebagai sumber yang layak untuk memahami apa isi al-Qur’an. Bahkan mereka merasa lebih paham soal al-Qur’an dibanding seluruh mufasir, dari masa Imam at-Thabari hingga para mufasir moderen. Sebagai contoh, Lumbard mengutip Gabried Said-Reynolds, peneliti Qur’an dari Universitas Notre Dame, yang menyatakan bahwa sarjana moderen lebih memenuhi syarat untuk memahami makna asli al-Qur’an daripada para mufassirun, bahkan mufassirun generasi awal. Asumsi Reynolds ini adalah wakil dari tradisi yang telah dibangun sarjana Barat sebelumnya seperti Alphonse Mingana, John Wansbrough, dan Adrew Rippin – untuk menyebutkan beberpa nama saja.

Sarjana-sarjana Barat menafikan kemampan mufassirun untuk memahami makna asli al-Qur’an disebabkan oleh banyaknya ikhtilaf di dalam kitab-kitab tafsir. Mereka menganggap bahwa karena para mufassir menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk memperdebatkan makna suatu frasa atau kata, itu artinya mereka tidak mengetahui maknanya dengan pasti. Diskusi dan perbedaan pendapat yang dinamis bagi mereka adalah simbol kebodohan. Lumbard menunjukan hipokrisi asumsi ini; jika perdebatan serupa terjadi di akademia Barat niscaya hal itu akan dianggap sebagai simbol hidupnya tradisi ilmiyah bergairah, tapi karena ini ada di tradisi Islam, jadilah ia lambang kebodohan. Lagi-lagi ini berasal dari asumsi bahwa agama (Islam) tidak mungkin menjadi motor penggerak tradisi berpikir dan perbedaan pendapat yang sehat.

Dengan demikian, hasil karya mufassirun yang terkumpul dalam berjuta halaman korpus tafsir dianggap tidak lebih dari literary achivement, capaian sastrawi. Sekilas, istilah “capaian sastrawi” yang dipakai Reynolds ini mungkin terdengar menghargai. Tapi bagi Lumbard, ini justru cukup meremehkan. Sebab itu berarti para mufassirun bukannya berusaha mengungkap makna al-Qur’an itu sendiri, tapi mengarang-ngarang sendiri makna sesuai kebutuhan teologis, ideologis, atau rasa-sastrawi mereka.  

Wacana Pembaharuan Rasa Kolonial?

Uraian sebelumnya menggambarkan secara sederhana dua ciri utama Wacana Kolonial yang dideteksi oleh Joseph Lumbard. Pertama, tradisi Islam hanya dianggap sebagai “sumber data” dan tidak punya daya konseptualisasi dan teoretisasi. Kedua, perbedaan pendapat dipersepsikan sebagai bentuk kekacauan dan berujung pada kenihilan kontribusi; perbedana pendapat mufasirun mengindikasikan bahwa mereka tidak mampu menjaga “makna kuno” al-Qur’an.

Pada dasarnya, Lumbard mengidentifikasi aspek-aspek wacana kolonial dalam studi Qur’an itu untuk menjadi koreksi bagi sarjana Barat. Namun analisis beliau juga berguna untuk para pengkaji studi Qur’an di kalangan umat Islam, jangan sampai secara tidak sadar malah mengikuti langkah mereka. Untuk mengetahui apakah pada diri umat asumsi-asumsi kolonialistik ini telah terinternalisasi atau tidak, dua asusmsi di atas dapat dijukstaposisikan dengan wacana pembaharuan yang belakangan ini digaung-gaungkan oleh cendekiawan kita. Dalam kasus ini, Sukidi, ahli tafsir jebolah Harvard itu.

Ada dua opini utama yang digaungkan Sukidi di banyak kesemaptan. Pertama, menurutnya, pembaharuan yang benar adalah kembali kepada tradisi, bukan kepada al-Qur’an. Sekilas ini bisa dipahami dan disetujui. Bahkan Muhammadiyah yang slogannya “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Maqbulah” pun pada hakikatnya tidak langsung ke al-Qur’an, tapi melalui tradisi juga. Hanya saja, Muhammadiyah eklektik dan non-partisan dalam memperlakukan tradisi itu. Bagian kedua dari opini Sukidilah yang agak problematis – dan ini yang kerap ia dengungkan – bahwa al-Qur’an diwahyukan tanpa makna inheren. Makna-makna al-Qur’an yang ditemukan di dalam tradisi tafsir adalah hasil dari “produksi makna” dan “temuan pikiran” para mufasir. Ada banyak yang bisa diproblematisasi dari pemikiran Sukidi ini, dan telah ada berbagai artikel online yang menunjukan masalah-masalah itu. Artikel ini hanya akan menunjukan bahwa terlepas dari slogan “kembali kepada tradisi” dan pujiannya kepada mufasir generasi awal, Sukidi tidak melangkah jauh dari dikte wacana kolonial. Terutama dua poin yang diungkap Lumbard di atas.

Sebenarnya, Sukidi menempatkan dirinya pada posisi berlawanan  dengan tokoh seperti Reynolds yang telah disebutkan tadi. Reynolds (dan yang sepemikirannya dengannya) menganggap makna asli al-Qur’an perlu digali dengan merujuk kepada tradisi Bibilikal dan bahasa-bahasa Timur Dekat yang semasa dengan al-Qur’an. Ia menganggap tradisi tafsir tidak dapat menawarkan makna asli al-Qur’an, sebab ia datang setelah al-Qur’an. Sukidi di sisi lain menyatakan bahwa mufasir generasi awal layak menjadi rujukan dalam memaknai al-Qur’an. Sanad posisi Sukidi ini bersambung hingga ke tokoh studi Islam kawakan, W.C. Smith yang menyatakan bahwa makan al-Qur’an letaknya ada pada diri (mind and heart)umat Islam sebagai pembacanya (Muchlisin, 2022).

Dalam konteks dinamika kesarjanaan Barat, Sukidi mungkin bisa disebut pembela tradisi, namun dari perspektif  yang lebih luas, ia tidak jauh berbeda dari Reynolds; sama-sama mengecilkan peran para mufasir dan menihilkan pondasi utama ilmu tafsir. Bahkan setidaknya Reynolds masih menganggap al-Qur’an memiliki makna, hanya saja umat Islam sendiri tidak memahaminya. Di hadapan Sukidi, al-Qur’an justru tidak diwahyukan dengan makna. Pada akhirnya, keduanya menganggap seluruh korpus tafsir sebagai hasil karangan. Reynolds menyebutnya capaian sastrawi, Sukidi menyebutnya produksi makna. Keduanya mengaggap mereka hanya membuat-buat, membual tentang makna al-Qur’an.

Dalam kaitannya dengan wacana kolonial yang dideteksi Lumbard, posisi Sukidi di atas menunjukan bahwa ia mengabaikan konseptualsiasi dan teoretisasi  yang dibangun oleh para ulama. Ia memperlakukan tradisi semata-mata sebagai sumber data dan mengabaikan landasan  konseptual para mufasir. Sebagai contoh, ia menganjurkan kita merujuk kepada mufasir awal seperti at-Tabari tapi melupakan konsep utama yang ulama besar itu tetapkan di pembukaan tafsirnya. Di mukadimahnya, at-Thabari mengafirmasi bahwa al-Qur’an memiliki makna dan manusia bisa mengetahuinya melalui ajaran langsung dari Rasulullah serta pemahaman terhadap bahasa Arab. Memang ada makna yang hanya diketahui Allah, tapi itupun terkait detail peristiwa-peristiwa eskatologis seperti hari kiamat dan hari kebangkitan (at-Thabari, 1989).

Bahkan, jika merujuk kepada historiografi Syaikh Al-Fadhil Ibnu Asyur dalam at-Tafsir wa Rijaluhu, salah satu pondasi bersama dalam ilmu tafsir adalah bahwa al-Qur’an memiliki makna inheren yang jelas. Cukup jelas untuk tidak hanya dipahami oleh mereka yang menerima kerasulan Muhammad saw, tapi juga oleh para penentangnya. Kemampuan kedua pihak untuk memahami makna al-Qur’an itulah yang menurut Ibn ʿAshūr menjadi, “pondasi (al-ashlu)  dari dinamika yang membentuk umat pengikut Muhammad serta kelahiran sejarah Islam” (Ibn ʿAshūr: 1997, p. 10). Sukidi juga mengakui bahwa ia tidak setuju dengan prinsip utama Ibnu Taimiyyah dalam Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir-nya, bahwa makna al-Qur’an telah diajarkan oleh Rasulullah kepada sahabat-sahabatnya.

Karakterisasi Sukidi terhadap tradisi pun mengingatkan kita kepada keluhan Lumbard. Seperti disebutkan sebelumnya, Lumbard menunjukan bahwa sarjana Barat melihat perbedaan pendapat mufasir sebagai tanda ketidak tahuan mereka pada makan asli al-Qur’an. Sukidi membawa asumsi kolonialistik ini lebih jauh. Baginya, perbedaan pendapat mufasir yang ia gambarkan sebagai “pluralisme dan kontradiksi makna” adalah bukti bahwa al-Qur’an tidak memiliki makna inheren. Ia melangkahi begitu saja upaya teoretisasi yang dilakukan ulama terkait lapis-lapis makna al-Qur’an. Sekali lagi, tradisi adalah sumber data, tapi bukan rujukan metodologis.

Sebagai sejarawan tafsir jebolah Harvard, Sukidi menyadari betul bahwa posisinya memang berseberangan dengan posisi para mufassirun. Tapi ia tidak begitu memikirkannya, seperti ia akui dalam wawancara di majallah Suara Muhamamdiyah. Jadi jika secara metodologis, ia tidak merujuk ke ulama, kemana sanad manhaj-nya berpangkal? Seperti dijelaskan sebelumnya, kepada W.C Smith dan yang semazhab dengannya. Adapun tradisi Islam, hanya diperlakukan sebagai sumber data, seperti terlihat dalam banyak analisisnya terhadap kata-kata kunci al-Qur’an.  

Penutup

Dalam kitabnya, Ibnu Khaldun tidak menyebutkan konsep Iqtida al-Ghalib untuk merendahkan pihak atau bangsa tertentu. Begitu pula uraian Joseph Lumbard tentang dekolonisasi Studi Qur’an bukanlah ajakan untuk membuang seluruh kesarjanaan al-Qur’an dari akademia Barat. Mereka hanya menunjukan kepada kita bahwa kolonialisme memiliki dampak epistemik, dampak pada cara berpikir. Dalam kasus Lumbard, ia menunjukan dampak cara berpikir itu pada kajian Qur’an. Bagian akhir tulisan ini dimana gagasan Sukidi dijukstaposisikan dengan konsep wacana kolonial dalam studi Qur’an juga memiliki tujuan yang sama. Bukan untuk menyebut Sukidi sebagai semacam agen kolonial, atau bahwa seluruh idenya harus ditolak seluruhnya. Argumen tulisan ini hanyalah menunjukan bahwa sikap kita kepada tradisi, dalam hal ini tradisi ulum al-Qur’an dan tafsir bisa saja tidak sesteril itu dari dampak kolonialisme, dan karena kita sudah merdeka secara fisik, mengapa tidak sekalian merdeka secara epistemik?

Wallahu a’lam bis shawab.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buya Hamka Tentang Surah Asy-Syu'ara dan Pemusik

Kritik Teks al-Qurʾān (2): Ragam Qirāʾāt, Mushaf Sahabi, dan al-Qurʾān Edisi Kritis

Mengenal Klasifikasi Gaya Penulisan Manuskrip al-Qurʾān Pada Empat Abad Pertama Hijriyah