Pengantar Zamzamiyah: Definisi Ilmu Tafsir dan Identitas Al-Qur'an



Baiklah kita lanjut ke bait-bait berikutnya tentang definisi ilmu tafsir dan beberapa mukadimah penting.

عِلْمٌ بِهِ يُبْحَثُ عَنْ أَحوالِ ... كِتابِنا مِنْ جِهَةِ الإِنْزَالِ

ونَحْوِهِ ، بالخَمْسِ والخَمْسِينا ... قَدْ حُصِرَتْ أَنواعُهُ يَقينا

Dua bait ini menjelaskan tentang definisi (had) dari ilmu tafsir. Jadi, ini bukan definisi dari tafsir itu sendiri tapi ilmu tafsir. Sederhananya, tafsir merujuk kepada aktivitas para mufasir dalam menjelaskan makna-makna al-Qur’an sesuai kemampuan manusia, sedangkan ilmu tafsir merujuk kepada fondasi dari aktivitas itu. Jadi lebih kepada metodologinya. Oleh karena itu, Sayyin Muhsin al-Musawa mengutip dari al-Shawi bahwa ilmu tafsir adalah ilmu tentang fondasi-fondasi (ushul) yang dijadikan dasar untuk mengetahui makna-makna kalam Allah sesuai kemampuan manusia. Ragam fondasi itulah yang disebutkan di dalam definisi ilmu tafsir di bait-bait nazham ini sebagai hal ihwal al-Qur’an.

Bait ini menyebutkan bahwa ilmu tafsir adala ilmu yang didalamya dibahas tentang hal-ihwal kitab kita, maksudnya tentu saja al-Qur’an, dari segi totalitas konteks diturunkannya. “Totalitas” ini adalah terjemahan bebas dari saya, artinya itu merujuk kepada berbagai sudut pandang kontekstual pewahyuan al-Qur’an baik ruang dan waktu semisal Makkiyah, Madaniyyah, Safariyyah, dan seterusnya yang nanti akan dibahas satu per satu. Namun bukan hanya itu bahasan ilmu tafsir, ada pula bahasan lain yang serupa dengannya; yakni sama-sama esensial untuk memahami hakikat dan isi al-Qur’an seperti ilmu tentang isnad, qira’ah, tajwid dan lainnya.

Keseluruhan hal ihwal al-Qur’an inilah yang membentuk bab-bab ilmu tafsir alias ilmu ushul at-tafsir alias ulum al-Qur’an. Di dalam bait ini disebutkan bahwa keseluruhan fondasi tersebut mencapai lima puluh lima (55) macamnya (anwa’). Pembatasan (hashr) itu bisa dibagi menjadi tiga macam 1) rasional alias ‘aqli 2) induktif a.k.a istiqra’i dan 3) pragmatis ja’li. Nah pembatasan macam ilmu-ilmu al-Qur’an menjadi 55 ini sekadar pragmatis saja; dibuat oleh nazhim untuk kepentingan sistematisasinya. Tidak exhaustive.  Buktinya di kitab-kitab as-Suyuti  yang lain anwa’ ilmu-ilmu ini lebih dari 55. Mengingat sifat Zamzamiyah yang diperuntukan untuk pemula, maka bisa dibilang 55 ini adalah bagian yang tidak boleh terlewatkan bagi para newbe itu.

Ada satu poin penting yan perlu diutrakan di sini; memang ilmu ushul at-tafsir faidahnya, seperti yang disampaikan oleh Syaikh Sayyid Alawi al-Maliki, adalah untuk memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an. Namun ilmu ini bukan hanya penting bagi mereka yang berniat melakukan tafsir, tapi juga sangat-sangat penting bagi yang hendak membaca kitab-kitab tafsir. Kitab-kitab tafsir dipenuhi oleh isitlah-istilah yang pasti asing bagi mereka yang langsung membacanya tanpa terlebih dahulu membaca literatur ushul at-tafsir. Kalau merujuk ke profil lulusan program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir di banyak PTKIN/S di Indonesia, ilmu ini bukan hanya penting bagi “mufasir” tapi juga bagi “peneliti tafsir”.

وقَدْ حَوَتْهُ سِتَّةٌ عُقُودُ  ....وبَعدَها خاتِمَةٌ تَعُود 

وقَبْلَها لا بُدَّ مِنْ مُقَدِّمَةْ   ...بِبَعْضِ ما خُصِّصَ فيهِ مُعْلِمَةْ

Bab-bab ilmu tafsir tersebut akan dibuat menjadi enam pokok untaian syair nazham. Selain itu, ada juga bait-bait penutup. Namun sebelumnya, ada bait mukadimah yang menjelaskan beberapa pengetahuan pendahuluan yang khusus untuk untuk ilmu al-Qur’an dan tafsir yakni definisi al-Qur’an, surah, dan ayat dan persoalan-persoalan terkait.

فذاكَ مَا عَلى مُحَمَّدٍ نَزَلْ...ومِنْهُ الاعْجازُ بِسُورَةٍ حَصَلْ

Mukadimah pertama adalah tentang identitas al-Qur’an. Disebutkan bahwa al-Qur’an adalah suatu entitas, kalam Allah, yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw dimana salah satu fungsinya adalah sebagai mukzijat. Sifat kemujikzatan ini minimal ada pada satu surahnya.  Definisi ini fungsinya untuk membedakan al-Qur’an dari yang lain (tamyiz). Maka disebutkan diwahyukan kepada Nabi Muhammad, membedakannya dari wahyu kepada nabi dan rasul sebelum beliau saw. Sifat mukjizat disebutkan juga untuk keperluan tamyiz tersebut; membedakannya dari hadis dan hadis qudsi. Misalnya disebutkan yang berfungsi sebagai petunjuk, maka hadis pun memiliki dimensi wahyu dan berfungsi petunjuk.

Mukjizat berarti sesuatu yang tidak mampu ditandingi oleh kemampuan manusia. Dalam kasus al-Qur’an, berarti manusia mustahil membuat yang serupa. Disebutkan bahwa kemujizatan itu terjadi setidaknya pada satu surah. Berarti unit terpendek dari al-Qur’an, yakni surah al-Kautsar. Mengapa  1 ayat? Pertama karena al-Qur’an sendiri mengakhiri tantangannya pada satu surah (QS. al-Baqarah [2]: 23). Selain itu, para ulama menyatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an tidak ada yang berdiri sendiri, semuanya perlu dilihat dalam kaitannya setidaknya dengan ayat sebelum dan setelahnya. Maka unit surah terpendek terdiri dari tiga ayat. Lebih jelasnya, ada di bait berikut:

والسُّورَةُ الطائِفَةُ المُتَرْجَمَةْ... ثَلاثُ آيٍ لأَقَلِّها سِمَةْ

Di bait ini disebutkan bahwa definisi surah itu adalah satu unit kalimat-kalimat al-Qur’an yang dikelompokan menjadi satu dan diberikan sebutan khusus. Alias diberikan nama (mutarjamah); setiap surah memiliki namanya sendiri. Naman-nama tersebut sifatnya tawqifi dari Nabi Muhamamd saw. Beliau sendirilah yang mengajarkan nama-nama tersebut. Bagaimana dengan surah yang memiliki nama beragam? Jika keragaman nama itu dipastikan bisa dilacak hingga ke sahabat atau tabi’in, maka tetap masuk dalam pemaknaan tawqifi ini. Demikian dijealaskan oleh Syaikh Yasin al-Fadani.

Berikutnya kita akan bahas soal ayat. wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buya Hamka Tentang Surah Asy-Syu'ara dan Pemusik

Kritik Teks al-Qurʾān (2): Ragam Qirāʾāt, Mushaf Sahabi, dan al-Qurʾān Edisi Kritis

Mengenal Klasifikasi Gaya Penulisan Manuskrip al-Qurʾān Pada Empat Abad Pertama Hijriyah